Bienvenue ami ...
Thankyou for visiting my blog. Have a good thing here. God bless you.

Tuesday, November 23, 2010

Sakramen Ekaristi / Eucharistie

 “Sakramen Ekaristi Menyuburkan
cintaku pada Kristus dan Sesama”

Monica Maria Meifung.
Sharing iman mengenai Sakramen Ekaristi pada Seminar Ekaristi,
 Kamis, 5 Mei 2005 di Paroki Arnoldus, Bekasi.

MENGAPA HARUS PINDAH GEREJA ?

Saya anak ke 4 dari 5 bersaudara, ayah Protestan, ibu Budha. Waktu menginjak usia sekolah, saya dimasukkan ke sebuah sekolah katolik (dikelola dan dipimpin oleh awam) yang sesekali menyelenggarakan misa untuk murid-murid. Tak ada sesuatu yang mengesan yang mampu saya ingat mengenai misa-misa di sekolah, karena sejak kelas 1 SD sampai dengan kelas 5 SD, kehidupan beriman saya tumbuh melalui Sekolah Minggu dan kebaktian di sebuah Gereja Pentakosta (selain karena tidak mengerti dan belum pernah ada yang menerangkan kepada saya apa itu misa). Ayah tak pernah ke gereja, saya rajin ke gereja karena diajak teman-teman tetangga dan merasa senang dengan banyak “oleh-oleh” yang didapat sepulang dari Gereja.

Ketika kelas 4 SD, seorang guru agama di sekolah mendaftarkan dan mengajak saya untuk “belajar agama” seminggu sekali sesudah jam sekolah usai. Saya sama sekali tak menyadari bahwa itu adalah kelas persiapan baptis menjadi katolik, kukira hanya pelajaran tambahan sekolah yang wajib diikuti. Kesadaran itu datang setahun kemudian ketika diberi formulir untuk dibawa pulang, harus diisi dan ditandatangani oleh orang tua. Kala itu saya masih rajin seminggu dua kali menghadiri kebaktian di sekolah minggu kesayanganku.

Seorang kakak perempuan yang sudah beberapa tahun lebih dulu menjadi katolik, mengejutkanku dengan berkata : “Nanti kalau kamu sudah dibaptis jadi katolik, tidak boleh pergi ke Gereja itu lagi ya…..” Dengan kebingungan saya tanya : “emangnya kenapa ?” Dengan ringan kakak menjawab : “Gerejanya berbeda !” Huuuu….. saya sedih bukan kepalang membayangkan harus berpisah dengan kakak-kakak pengasuh dan teman-teman yang kucintai, lalu (dengan tetap tak mengerti karena kukira semua gereja sama saja) saya tanya lagi : “jadi, saya harus pindah gereja, koq begitu ?” Pendek kata, mulai saat itu (umur 11 tahun) saya dilatih secara intensif oleh sang kakak untuk ikut kebaktian di gereja katolik. Sambil ikut misa, pikiran saya masih suka melayang di gereja yang sudah 4 tahun tekun saya hadiri. Koq beda ya ? Di “gerejaku” banyak nyanyinya, di “gereja kakakku” banyak doanya. Di “gerejaku” bisa nyanyi sambil melompat-lompat dan teriak-teriak, seru dan ramai sementara di “gereja kakakku” ini sunyi sepi dan semuanya tertib sekali. Di “gerejaku” kalau datang wajib membawa kitab suci, di “gereja kakakku” koq cuma bawa buku doa dan nyanyian (Madah Bakti). Di “gerejaku” kotbahnya lama, di “gereja kakakku” kotbahnya cuma sebentar sekali. Di “gerejaku” enggak ada rotinya, di “gereja kakakku” diberi roti kecil bulat dan tipis yang namanya hosti. Di “gerejaku” setiap pulang diberi PR yaitu satu ayat hafalan dari kitab suci, di “gereja kakakku” pulang nggak diberi PR apa-apa, yang harus dihafal bukan ayat-ayat kitab suci tetapi doa-doa : bapa kami, salam maria, aku percaya, doa tobat, dan seterusnya. Lengkaplah sudah kebingunganku di awal perpindahan gereja ini.


BERTUMBUH DALAM MENCINTAI EKARISTI

Lulus SD, saya masuk SMP katolik di paroki Mangga Besar. Waktu pembentukan OSIS, saya dipilih oleh guru wali kelas untuk ikut menjadi pengurus, diberi tugas menjadi Sie Liturgi yang harus mengurusi misa bulanan sekolah. Saya bingung, tak tahu harus berbuat apa, lalu mengikuti saja bimbingan dari kakak-kakak kelas dan para guru. Lama-kelamaan senang karena merasa bisa “berjasa” untuk mengajak teman-teman beribadat. Berbarengan dengan itu, seorang bapa di paroki tiba-tiba mendaftarkan saya menjadi anggota putra-putri altar dan koor remaja. Wah kebetulan, dengan menjadi misdinar saya pikir saya bisa melaksanakan tugas mengadakan misa di sekolah dengan lebih baik. Hampir selalu dengan gembira dan bersemangat kulakukan tugas menjadi Sie Liturgi sampai dengan kelas 3 SMP. Mengadakan misa di sekolah merupakan saat yang selalu kutunggu-tunggu, karena di situ aku belajar bekerjasama dengan teman-teman dan kakak-kakak kelas, berbagi tugas, memilih lagu-lagu, mengenal hari-hari raya dan warna-warna liturgi, belajar menggunakan kalendarium, membuat laporan ke guru pembimbing, berbagi rasa bangga karena bisa menjadi pengurus, dan sebagainya. Begitu juga ketika menjadi misdinar, merasa bangga karena boleh duduk di samping pastor di altar, bisa lihat semua yang dilakukan pastor waktu misa dengan lebih jelas. Sebagai anggota koor remaja, saya juga bangga karena sebelum umat tahu, saya sudah tahu lebih dulu lagu-lagu apa yang mau dinyanyikan dalam misa, lebih bangga lagi karena kalau pemimpin koor berhalangan hadir, saya dilatih dan ditugaskan menjadi dirigen koor. Itulah kebanggaan seorang anak remaja ! Dan di tengah semua kegembiraan masa remaja : sebagai anak kesayangan mama di rumah, sebagai ketua kelas di sekolah, sebagai anggota Sie Liturgi OSIS, sebagai misdinar dan anggota koor sekaligus dirigen koor di gereja, perlahan-lahan penghayatan dan penghormatanku terhadap Sakramen Ekaristi bertumbuh. Misa-misa harian kuikuti sepulang sekolah karena tinggal jalan kaki sebentar dari sekolah ke Gereja. Itulah jalan-jalan yang tersedia bagiku untuk bertumbuh dalam mencintai Sakramen Ekaristi. Luka-luka karena harus tiba-tiba berpisah dengan teman-teman dan kakak-kakak pengasuh di gerejaku yang lama, terobati pada periode ini.


KARUNIA HIDUP SELIBAT

Menjelang lulus SMP sampai dengan lulus SMU (usia 15–18 tahun), setiap kali berdoa sesudah komuni di kapel gereja, hatiku dipenuhi gelisah tak menentu. Ada suatu cengkeraman cinta yang menakutkan dan sulit untuk dirumuskan. Masih kuingat saat-saat komuni, ketika kucoba menghayati bagaimana Yesus dalam roti kecil itu bersatu dalam diriku:  ada suatu ajakan yang amat manis dan kuat untuk mengikuti Dia lebih dalam. Kedalaman itu sampai ke suatu titik dimana saya merasa diri sepenuhnya terajak, terseret dan tenggelam dalam lautan cintakasihNya. Dengan jatuh bangun, dengan bercucuran air mata karena merasa bingung dan tidak mengerti apa yang sedang kualami, akhirnya saya sampai kepada suatu kesimpulan : sepertinya Ia sedang mengorek-ngorek tanah di hatiku (yang amat sempit dan terbatas) dan menanam benih-benih cintaNYA (yang maha luas dan tak terbatas). Bagaimana saya bisa menampungnya ?, itulah sebabnya saya sering merasa “sesak” dan gelisah.
Misa-misa harian yang kuikuti di masa remaja dan semasa sekolah ternyata menjadi saat-saat rahmat yang amat menyuburkan apa yang ditanam oleh Tuhan di hatiku. Dengan bantuan dan bimbingan seorang imam, saya diajak mengerti bahwa DIA sedang menawarkan suatu karunia kepadaku yaitu panggilan hidup selibat. Inilah yang saya maksud dengan cengkeraman cinta yang menakutkan. Mengapa ? Saat itu saya sedang berpacaran dengan seorang teman misdinar (selama 3 tahun) dan sedang bercita-cita mau hidup berkeluarga. Saya sedang berangan-angan nanti kalau lulus SMU mau langsung menikah saja dan cepat punya anak… Namun saya tak kuasa melawan rahmat panggilan : makin ditolak makin membuatku susahdan menderita. Maka secara sukarela kulepaskan kekasihku, kulepaskan cita-cita untuk membangun hidup berkeluarga bersamanya, demi menyerahkan diri kepada Pribadi Yang Memanggil, yang menyediakan diriNYA menjadi Kekasih Baruku untuk selamanya. PESONA EKARISTI memikat dan menjerat saya untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Yang Tersalib dan Yang Bangkit Mulia.


KARUNIA MENCINTAI ORANG MISKIN

Renungan-renungan KITAB SUCI (kendati tidak semua mampu saya pahami maksudnya), pada saat mengikuti Perayaan Ekaristi menjadi semakin membuka wawasan hidupku, terlepas dari kotbah pastornya menarik atau tidak menarik. Itu bukan perkara utama bagi saya. Di dalam Sakramen Ekaristi dan melalui bacaan-bacaan Kitab Suci, saya memandang Kristus yang menjadi teladan sempurna dalam melaksanakan kehendak Bapa. Seandainya saya diberikan sedikit saja sentuhan rahmat untuk mengikuti jejakNya, itu sudah cukup bagiku.

Salah satu bagian dari sebuah DOA SYUKUR AGUNG yang memproyeksikan gambaran tentang Kerajaan Allah, dimana disebut : “dalam KerajaanNYA tiada lagi orang yang menderita sengsara”, selalu menantang dan membuat saya ingin berpartisipasi untuk ikut mempercepat datangnya Kerajaan itu. Api cinta kasih yang saya tangkap melalui DOA SYUKUR AGUNG tersebut membangun suatu kerelaan untuk menyediakan diri secara teratur bermain dan belajar bersama anak-anak miskin dan anak-anak jalanan yang tersingkir; serta menyatukan diriku untuk menjadi saudara bagi mereka. Di sana saya belajar “mencicipi” Kerajaan Allah dengan belajar memandang Kristus yang menyembunyikan diriNYA di balik wajah orang-orang miskin. Sekali lagi : PESONA EKARISTI menegaskan bagiku suatu dimensi keharmonisan bahwa cinta kepada Tuhan tak terpisahkan dari cinta kepada sesama. Cinta dan bakti Gereja kepada Tuhan di dalam dan melalui Sakramen Ekaristi tidak bisa tidak terwujud di dalam cinta kepada orang-orang miskin. “Option for the poor” bagiku bukan slogan tanpa makna, ia bisa sungguh menjadi hidup dalam diri setiap orang yang diberi rahmat untuk menghayati Sakramen Ekaristi.

Jujur saja, saya sering juga menghadiri Perayaan Ekaristi dalam keadaan lelah, tergesa-gesa dan tidak antusias (tidak mempersiapkan diri dengan baik). Sesekali saya menghadirinya dengan perasaan sepertinya sedang melaksanakan suatu kewajiban berat. Hal tersebut ternyata tidak menghalangi Allah (yang sangat kreatif) untuk menyingkapkan dan mengungkapkan cinta kasihNYA. Sampai saat ini, ada saja bagian-bagian di dalam Perayaan Ekaristi dimana saya dibuat tertegun bahkan sesekali terkejut. Buahnya positif : semangat untuk belajar bertobat terus-menerus dan membangun keserasian dalam kata, tindakan dan karya. Pun jika dalam mengikuti Perayaan Ekaristi tidak muncul perasaan-perasaan yang istimewa, saya sadar bahwa saya datang bukan demi melayani perasaan tetapi untuk beribadat, untuk menerima Tuhan dan mempersembahkan diri kepadaNYA.  


ISSUE-ISSUE SEPUTAR PERAYAAN EKARISTI

Kendati ada segudang kesaksian, issue positif dan pemaknaan yang optimis terhadap Perayaan Ekaristiia tidak steril dari issue-issue negatif yang tidak jarang membingungkan.

Mengapa cuma pakai hosti, bukan roti ?? Ada Pribadi Tersembunyi di balik hosti yang dikonsekrir menjadi tanda nyata dan wujud kehadiranNYA. Saya pribadi tidak  menemukan alasan untuk mengatakan bahwa hosti tidak atau bahkan kurang memenuhi syarat untuk diterima sebagai Tubuh Kristus. Saya tidak menolak perubahan, tetapi juga bertanya-tanya : kalau “hosti” diganti “roti” apakah akan ada jaminan bahwa umat pasti menghayatinya secara lebih baik dan menerimanya secara lebih pantas ?  

Mengapa kita hanya menyambut hosti, tidak menyambut dua rupa : hosti dan anggur ? Saya menghayatinya begini : roti dan anggur dimaksud menegaskan dimensi makan dan minum dalam perjamuan, bukan untuk secara harafiah menentukan keutuhan dan ketidak-utuhan Kristus yang saya sambut. Pada waktu imam membagi hosti dan menyebut “Tubuh Kristus”, saya merasa sedang menyambut secara utuh, tidak seolah-olah menyambut hanya separuh dari Kristus (cuma dagingNya, bukan darahNya). Lagipula, yang kuterima adalah Kristus sepenuh-penuhnya, selengkap-lengkapnya, seluruh Pribadi-Nya yang wafat, bangkit dan naik ke Surga (yang tersembunyi di balik hosti kecil itu), bukan Tubuh Kristus secara badaniah atau jasmaniah. Dugaan saya, kita membutuhkan mistagogia ketimbang gerakan untuk memproklamirkan/mengupayakan agar para imam menyelenggarakan penyambutan dalam dua rupa. Sekurang-kurangnya saya berharap, gerakan ini tidak dijadikan target dalam menyambut Tahun Ekaristi yang suci ini.

Mengapa Perayaan Ekaristi sering dilaksanakan dengan tergesa-gesa atau dengan target satu jam harus selesai ? Di dalam dan melalui Perayaan Ekaristi saya ditarik untuk menyatukan diri (sebagai pendosa) dengan misteri cinta kasih Allah (Yang Kudus). Asal saya diberi rahmat untuk bisa melihat dan menangkap sedikit saja dari kepenuhan cintakasihNYA itu, maka waktu penyelenggaraan misa menjadi relatif : mau setengah jam, satu atau dua jam, itu sekunder. Jumlah menit dalam Perayaan Ekaristi bagi saya tidak menentukan jumlah rahmat yang sedang disediakan dan ditawarkan Tuhan kepada umatNya.   

Kalau menyambut hosti yang sudah lama (lebih dari seminggu) disimpan di tabernakel rasanya koq seperti menerima makanan sisa atau basi ? Jangankan seminggu, pun kalau baru satu hari disimpan di tabernakel, lalu hostinya terasa asam, alot, bau apek, pokoknya sudah tidak memenuhi syarat untuk dimakan, itu saya anggap basi. Yang menentukan basi tidaknya bukan pertama-tama lama penyimpanan tetapi cara menyimpannya. Meskipun sudah lebih dari satu minggu disimpan, tetapi masih memenuhi syarat untuk masuk mulut dan tidak merusak kesehatan, saya anggap saya sedang menerima Kristus secara utuh di dalam hosti tersebut. Jumlah menit atau jumlah hari penyimpanan hosti tidaklah menentukan (dan tidak berbanding terbalik dengan) jumlah rahmat yang saya terima.

Kalau imam tidak kudus, bagaimana ia bisa memimpin misa kudus ? Pada hemat saya : Misa menguduskan imam, bukan imam menguduskan misa. Dalam misa Allah hadir, menawarkan diri serta memberi kekuatan kepada Tubuh MistikNya yakni seluruh umat termasuk imam juga, untuk belajar hidup kudus. Saya tentu saja bahagia apabila Gereja mempunyai imam-imam yang kudus (apakah sama dengan tidak pernah berdosa ?), seandainya tidak, Perayaan Ekaristi tidak kehilangan hakekatnya untuk menjadi tanda nyata kehadiran Allah. Kualitas hidup imam (kan sudah ada bagian / komisi yang mengaturnya) tidak menentukan hakekat perayaan ekaristi yang dipimpinnya. Sekali lagi, itu yang saya hayati lho, Anda boleh saja menghayati yang berbeda. Saya setuju bahwa diperlukan sejumlah syarat untuk menyambut Tubuh Kristus dan itu berlaku juga untuk imam yang memimpin misa. Tetapi saya merasa rugi bila harus menganggap Perayaan Ekaristi itu jelek, tidak menarik atau tidak mengesan atau apalah namanya ….., hanya karena saya tidak suka dengan imam yang memimpinnya (karena menilainya berdosa, tidak suci, dsb). Kita perlu berdoa agar Perayaan Ekaristi dapat semakin dihormati, dicintai dan menguduskan kita semua : ya imam, ya umat, ya semuanya.

PENUTUP

Menghayati Ekaristi merupakan suatu rahmat cuma-cuma sekaligus membutuhkan proses belajar terus-menerus melalui pengalaman dan pelbagai sumber yang telah disediakan oleh Tuhan melalui GerejaNya. Sakramen Ekaristi menjadi puncak segala sakramen lainnya, ia merupakan “sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paska. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (Konstitusi tentang Liturgi Suci bab.II No.47). Perayaan Ekaristi mengundang kita untuk masuk kepada misteri iman dan cinta kasih Allah, yang rela menebus, menyelamatkan dan membaharui umatNya.

Jakarta, di Tahun Ekaristi (2005)

No comments: