Bienvenue ami ...
Thankyou for visiting my blog. Have a good thing here. God bless you.

Sunday, November 28, 2010

Adven 1

Monica Maria Meifung - Adven 1 - 2010

Lilin dinyalakan, satu saja bukan empat
Manusia diingatkan, akan datang Penyelamat
Bangunkan yang tertidur, kembalikan yang tersesat
Tuk berjaga dengan hati luhur, dan menata sikap hormat

Kemewahan tak Kau pilih, jalanMu lewat kadang hewan
Hai dunia dan diri yang ringkih, keluarlah dari tawanan    
Datanglah oh datanglah Tuhan, hatiku penuh kerinduan
Seraya pikirkan haluan, untuk disasar kepada tujuan

Thursday, November 25, 2010

Telling The Story of Jesus



Misi di Asia : Menceriterakan Kisah Yesus
“Telling The Story of Jesus”
By : Mgr. Luis Antonio G. Tagle, Uskup Imus, Philiphina

Kongres Misi Asia, Chiang Mai, Thailand, 19 Oktober 2006.
Diterjemahkan oleh : B.S. Mardiatmadja, SJ.

            Kongres Misi Asia adalah suatu kesempatan untuk merayakan panggilan Gereja menjadi misioner. Kongres ini mengenangkan dengan penuh syukur jalan-jalan misioner yang telah diambil oleh Gereja di Asia. Kongres ini bersukacita atas upaya terus-menerus dalam misi, dengan menjadi saksi dari kekuatan iman dan cinta kasih. Kongres mengundang kita untuk melibatkan diri sekali lagi kepada panggilan abadi Yesus Kristus agar kita membawa Kabar Baik mengenai Kerajaan Allah ke seluruh dunia. Kongres juga mendesak kita untuk mencari jalan-jalan baru guna memahami dan menjalani misi, dalam kesetiaan kepada Tradisi Gereja yang kaya, tetapi dengan peka terhadap realitas yang dihadapi oleh rakyat Asia.
            Dapat dikatakan bahwa sejarah Gereja adalah sejarah misi. Sejarah yang berlapis-lapis dan beraneka warna ini, bermula dari jaman Perjanjian Baru, menjadi saksi dari banyak jalan yang dipergunakan oleh Gereja untuk memahami dan melaksanakan misi. Kita dapat menambahkan kenyataan bahwa sementara Gereja yang satu ini bersifat universal, dia pun hadir dalam gereja-2 setempat, yang memiliki sejarah dan situasi-2 yang sangat unik, dan karena itu juga mempunyai pengalaman-pengalaman dan pengertian-pengertian tentang misi yang unik pula. Paus Johannes Paulus II meneguhkan dalam Redemptoris Missio suatu pemahaman dasar Ad Gentes, bahwa misi, memang merupakan satu realitas tetapi sekaligus juga kompleks, serta berkembang dalam cara yang beraneka warna. Melanjutkan dinamika Gereja mencari jalan-2 untuk melaksanakan misi yang selaras dengan waktu dan tempat yang tertentu, kongres kita mengusulkan suatu pemahaman dan praktek misi yang berfokus pada Kisah Yesus di Asia.
            Sebuah kisah tidaklah sekedar suatu ceritera. Sebuah ceritera adalah suatu kisah yang sejati apabila diceriterakan atau dinarasikan, dan mudah-mudahan didengarkan. Pada masa sekarang, salah satu sebutan dari ber-kisah adalah “sharing”. Dalam Ecclesia in Asia, Paus Johannes Paulus II melukiskan misi sebagai sharing tentang cahaya iman dalam Yesus, suatu anugerah yang diterima dan suatu karunia yang dibagikan kepada rakyat Asia. Sharing itu dapat mengambil bentuk berupa menceriterakan kisah Yesus. Saya yakin bahwa, menceriterakan kisah Yesus menyediakan suatu kerangka yang kreatif untuk memahami misi di Asia, suatu benua yang kebudayaan dan agama-agamanya berakar pada kisah-2 besar atau “epos”. Paus Johannes Paulus II juga mengakui bahwa metode berkisah itu serasi dengan bentuk-bentuk budaya yang disukai untuk mewartakan Yesus di Asia (E.A no.20).

Wednesday, November 24, 2010

Mendampingi Anak2 Jalanan ...


Monica Maria Meifung - Jakarta, 2010
"Yang paling sulit untuk diatasi bukanlah kemiskinan itu sendiri tetapi dampaknya ...." 

(Wawancara melalui email oleh seorang petugas sebuah buletin rohani :) - dibuang sayang..

Shalom, Mbak Meifung, 
Berikut ini pertanyaan seputar karya dampingan Komunitas Putri Sion pada anak-anak jalanan. (Mbak Meifung, untuk jawaban wawancara ini, mohon juga disertakan contoh konkrit bila ada).Terima kasih.

1. Bagaimana karya pendampingan ini dilakukan? Mohon dijelaskan.
Senin-sabtu para pendamping terikat jam kantor, maka pendampingan dilakukan hanya setiap hari Minggu siang, Pk.14.00-16.00 di Stasiun Juanda, dengan mengambil tempat di salah satu teras atau pojokan kosong yang tidak terlalu banyak dilalui orang. Kami tidak mengundang / membawa mereka ke suatu tempat lain yang mungkin dianggap lebih layak (aula, rumah, dsb) karena ingin membuat mereka tetap merasa nyaman di tempat mereka berada, jadi kami yang mendatangi mereka, bukan mereka harus datang ke tempat kami. Sebagian anak drop-out sekolah, pendampingan dilakukan dengan model menemani mereka belajar, membantu mereka untuk lancar menulis, berhitung dan membaca : mereka diharapkan kelak bisa hidup normal dengan 3 kemampuan minimal ini, dalam arti :  tidak mudah ditipu orang karena buta huruf dan tak bisa menghitung. Bagi mereka kami siapkan juga pengobatan kecil seperti P3K, obat umum sehari-hari berkisar pada keluhan : pusing, masuk angin, flu, batuk, gatel-gatel.   

 2. Adakah pemetaan terhadap kemiskinan anak-anak jalanan tersebut? (dari sisi asal, jumlah, dll. Bila ada, mohon dijelaskan. 
Beberapa tahun yang lalu mencapai 40 - 75 anak, jika ada event-event tertentu (perayaan ulang tahun, buka puasa bersama, dsb) bisa mencapai 100 anak. Tetapi karena penggusuran, banyak yang pindah ke tempat lain yang lebih aman atau pulang ke kampung, jumlah mereka sekarang berkisar 25-40 anak.
Kebanyakan dari keluarga pemulung yang salah satu markas pengumpulan barangnya ada di ujung stasiun Juanda yang ke arah Sawah Besar. Sebagian dari orang tua mereka berjualan / buka warung kecil di sekitar stasiun. Mereka datang dari Jakarta, dan sebagian perantau dari Bogor dan Jawa Tengah
Misalnya : seorang ibu berjualan teh botol, memerlukan waktu setengah tahun mengumpulkan uang untuk bisa membayar uang buku dan seragam anak seharga Rp.175.000,- Keluhan anak dipulangkan karena berbulan-bulan tidak membayar uang sekolah, itu sudah amat biasa. Beberapa orang tua (dan anak juga) putus asa dan memutuskan untuk berhenti sekolah.. Sekolah Gratis yang mereka bayangkan dianggap hanya memberi harapan kosong karena nyatanya selalu ada sejumlah uang (seragam, iuran tabungan, buku, dsb) yang harus mereka bayarkan ke Sekolah. 

 3. Berdasarkan pengalaman / pengamatan pendampingan, persoalan apa sebenanrnya yang dihadapi anak-anak jalanan tersebut? kemiskinan semacam apa yang dialami anak-anak jalanan tersebut. Mohon dijelaskan. 
Di balik kemiskinan, mereka menderita banyak hal lain sebagai dampaknya, dan seringkali yang paling sulit untuk diatasi bukanlah kemiskinan itu sendiri tetapi dampaknya. 
A. Pergaulan : (dari ceritera-ceritera polos mereka) mereka menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga, entah itu orang tua mereka sendiri maupun melihat tetangga / keluarga lain mengalami hal tersebut, pelecehan seksual, omongan-omongan kotor ala orang tua, dsb. Itu terbawa dalam gaya bicara mereka (karena meniru) yang kasar, liar, binal dan sungguh terdengar tidak biasa di telinga kita. Saya kadang melihat anak perempuan umur 11 tahun tapi berdandan ala perempuan dewasa dan "mejeng" di jalan dengan harapan ada yang mengajaknya berteman (maaf : seperti anak yang "melacurkan diri")
B. Pelanggaran : beberapa anak mengalami kenalan atau anggota keluarga mereka masuk penjara karena mencuri, terkena razia ketika sedang mengamen atau berjualan di jalan, melarikan diri dari  rumah penampungan. saya berkali-kali harus menolong anak yang kakinya luka-luka tertusuk beling/benda tajam akibat melarikan diri dari kejaran polisi di jalan. 
C. Kemiskinan mental : tidak sedikit anak ketika ditanya kelak kalau sudah besar mau jadi apa, tidak mampu menjawab, kendati kami mencoba memberi semangat dan memompa motivasinya. Artinya : mereka hidup dalam keputus-asaan yang berat (baik keluarga sendiri maupun lingkungan sekitar) sehingga tidak berani lagi bermimpi tentang hidup dan masa depannya. Seorang anak waktu saya tanya nanti mau jadi apa, ia menjawab : "gak tahu, bapa-ibu saya saja cuma pemulung, emangnya saya mau jadi apa"? Saya terkejut dan merasa tertampar dengan jawaban ini.
Ada lagi, seorang anak perempuan, 9 tahun, putus sekolah ketika kelas 1 SD. Kami mencoba menolong mengurusi semua hal sampai ia bisa masuk sekolah kembali, kami janjikan akan menjamin uang sekolah, uang buku, dsb sampai ia lulus SD. Apa yang terjadi ? Orang tua marah-marah karena sejak kembali Sekolah mereka merasa direpotkan dengan anak yang lebih sering meminta uang jajan ketimbang ia tidak sekolah dan mengamen sehingga bisa cari uang jajan-nya sendiri. 3 bulan kemudian, anak kembali ke jalanan dan tidak mau sekolah. Inilah yang saya maksud dengan : mengeluarkan mereka dari kemiskinan mentalitas dan kemiskinan spiritual, jauh lebih sulit daripada membawa mereka keluar dari kemiskinan material.

 4. Apakah solusi yang dilakukan terhadap persoalan anak-anak jalanan tersebut? Adakah metode yang dipergunakan? Mohon dijelaskan.
Tidak ada, mengingat kami hanya bisa mendampingi mereka seminggu sekali dan hanya 2 jam. Kami hanya menyediakan diri menjadi teman belajar, juga tempat mereka dan orang tuanya bisa berkeluh kesah menumpahkan uneg-uneg pergumulan hidup mereka yang berat. Membantu orang tua dengan nasehat-nasehat umum,  (dan sedikit pendidikan budi pekerti dlm dongeng-dongeng / ceritera kepada anak-anak balita) agar mereka bertahan di medan hidup yang keras. Tidak ideal, memang, tetapi memaksakan diri merasul dan mengerjakan yang di luar batas kemampuan kami, bisa membuat kami frustrasi juga kan ? ha haa haa.... :) Biarlah itu menjadi PR Pemerintah atau Departemen Sosial, tugas kami adalah menjadi pembawa cinta kasih dan Kabar Baik seturut kemampuan dan situasi yang dapat kami jangkau. Saya masih bermimpi ada tenaga-tenaga baru yang lebih full-time yang Tuhan sediakan bagi kami dan bagi mereka. 

 5. Apa yang menjadi tujuan dari pendampingan anak-anak jalanan yang dilakukan Komunitas Putri Sion? mohon dijelaskan. Adakah dari anak-anak yang didampingi tersebut bisa survive / bisa memberdayakan hidup mereka sendiri? Mohon dijelaskan.
Karya ini (6 tahun yang lalu) dilakukan secara spontan dan tidak sengaja, tidak didahului dengan suatu perencanaan program dan penyusunan proposal yang matang dan hebat, tetapi bagaikan sebuah realita yang "dijatuhkan" oleh Tuhan di depan hidung kami. Tidak ada visi misi khusus sebelumnya, jadi lebih termotivasi dan digerakkan oleh hati yang bersatu (dari semua anggota komunitas) dan mau melayani menurut peluang-peluang yang disediakan Tuhan dan seturut semangat Gereja "option for the poor". Jadi, tujuan kami sangat sederhana : mau menjadi teman bagi anak-anak miskin tanpa ambisi menyelesasikan seluruh problema kemiskinan mereka. Jika ada sumber-sumber (dana, barang, bahan sandang dan pangan) yang kami terima dari donatur, ya kami salurkan, kalau tidak ada, kami tetap menemani mereka dengan menyediakan waktu, perhatian, tenaga dan kemampuan yang ada untuk membuat mereka bisa belajar dengan lebih baik. Maka kami melayani tanpa terlalu banyak "stress" karena tak punya banyak target selain mengikuti gerakan Roh Tuhan yang membimbing dan "mengutus" untuk membawa hati dan kasih-sayangNya kepada anak-anak jalanan itu. Maka, setiap Minggu, kami mengambil waktu 2 jam (pk.12.00-14.00) untuk pertemuan komunitas : berdoa, merenungkan sabda Tuhan, mendalami ajaran-ajaran Gereja, sharing iman, dsb, sebelum kami "turun" ke jalanan, untuk membuat kami yakin bahwa sumber-sumber yang dibagikan kepada anak-anak itu bukanlah beasal dari kehebatan dan kemapanan diri sendiri, melainkan sungguh berasal dari Tuhan. Cita-cita kami : membawa kepada mereka cinta kasih yang "otentik" dari Tuhan. Tidak mudah, tetapi sejauh ini hal tersebut selalu membuat kami mau melakukannya dengan penuh kegembiraan dan harapan. 

Anak-anak itu bisa survive karena pada umumnya mereka mempunyai orang tua sehingga perjuangan mereka bukan hanya perjuangan individu melainkan perjuangan keluarga, ini juga membuat mereka kuat ya. Saya punya beberapa pengalaman yang memperlihatkan semangat survive dan semangat memberi serta solidaritas mereka jauh lebih tinggi daripada kita yang sehari-hari hidup dalam kondisi serba berkecukupan. Saya sering pulang ke rumah dengan membawa "Good News from the poor". 

Tuesday, November 23, 2010

Jangan saling melukai ...


Dialog Antar Agama ... 
Monica Maria Meifung


Tadi sore saya mendapat wawancara melalui email, pertanyaannya antara lain
"Apa pendapat ibu tentang dialog antar umat beragama ? Bagaimana cara berdialog yang baik menurut ibu, dan masih perlukah dialog antar umat beragama ?"

Jawaban singkat dan spontanku  kepadanya :
Dialog antar umat beragama, bukan hanya perlu tetapi seharusnya menjadi kebutuhan setiap orang. Kalau dengan teman-teman se-agama saja diperlukan komunikasi dan dialog untuk memupuk dan meningkatkan kesatuan, lebih-lebih dengan yang berbeda agama. 

Mengabaikan dialog dapat menimbulkan dan menyuburkan salah paham, gesekan, dan pelbagai kecurigaan yang menyakitkan. Tanpa dialog orang dapat terus saling curiga sampai melumpuhkan kerjasama. Kecurigaan membuat orang saling melukai. Namun dialog menyembuhkan dan menguatkan orang untuk belajar menimba kekayaan satu sama lain, dan membangun kreativitas untuk menemukan keindahan di balik perbedaan-perbedaan. Dialog menumbuhkan saling pengertian, persaudaraan dan kerjasama yang efektif untuk kebaikan semua pihak. 

DIALOG yang baik mengandaikan adanya kemauan/kehendak baik pada semua pihak yang terlibat, tidak bisa sepihak. 

DIALOG yang baik membutuhkan syarat adanya kesepakatan sikap dalam mempersepsikan perbedaan-perbedaan. Kesenjangan dalam pendidikan, pengalaman, pemahaman dan persepsi di antara pihak-pihak yang terlibat, dapat secara serius menghambat dialog.

DIALOG juga mengandaikan adanya tujuan yang sama, yaitu demi terbangunnya persaudaraan yang menumbuhkan kebaikan pada semua pihak. Maka harus dilaksanakan dengan jujur dan tulus, tidak boleh dibelokkan atau dipolitisir ke arah kepentingan sepihak dari agama ataupun  golongan tertentu.

Akhirnya, DIALOG yang baik harus dimulai dengan menjalankan hidup secara baik, sesuai nilai-nilai ajaran agama masing-masing. Dialog bukan hanya pertukaran ide atau gagasan, tetapi juga saling berbagi kesaksian hidup yang otentik demi tumbuhnya persaudaraan sejati, pembangunan martabat manusia, dan sikap hormat terhadap keragaman. 

Semoga dialog antar umat beragama tumbuh subur dan memperlihatkan buah-buah yang menggembirakan di Indonesia. 

(Silakan memberi masukan dan memperkaya jawaban saya ...)

Tuhan-nya miss itu siapa sih ...?


Sharing / Dialog Iman 
Monica Maria Meifung - Jakarta, 2008

Sejak permulaan tahun 2000, saya bersama teman-teman komunitas melayani pendampingan belajar untuk 60-80 anak dari keluarga pra-sejahtera di daerah ‘agak kumuh’ di Jakarta Pusat. Kami menyediakan diri selama 3 jam setiap hari minggu (14.00–17.00) untuk membawa nilai-nilai Kerajaan Allah melalui tindakan menemani mereka belajar, bermain, memberi makan, memberi obat, dan sebagainya.
Cukup banyak anak yang setia dari awal, mulai dari mereka berusia 6 tahun sampai menginjak usia SMP kelas 2. Dalam suatu kurun waktu, dari minggu ke minggu hampir selalu ada anak yang penasaran dan bertanya : “miss, miss agamanya apa sih ?” Kami sepakat untuk mewartakan Kabar Baik bukan lewat penyebaran pelajaran agama, karena lingkungan kami amat homogen : 95% penduduk asli betawi, muslim. 
Sebulan yang lalu, saya dikejutkan oleh seorang anak perempuan, Santi, 13 tahun (nama samaran) yang tiba-tiba berdiri di depan saya, membentangkan tangannya dan menyodorkan mukanya kepada saya untuk minta dipeluk dan dicium. Berkali-kali ia minta, ia bilang : “peluk saya dong miss, enak dan hangat”, dan ia juga mencium saya. Lalu dengan tidak terduga ia bilang : “miss, kenapa sih selama ini miss nggak pernah ceritera tentang agamanya miss ? Tuhannya miss itu siapa dan kaya apa ?” Berhari-hari tidur saya ‘terganggu’ karena memikirkan pertanyaan anak perempuan itu. Tindakannya membawa saya kepada suatu kenangan :
   Sejak usia 25 tahun saya sudah tak punya ayah-ibu, dalam doa dan meditasi saya selalu membayangkan berdiri di depan Tuhan Yesus, merasakan Dia memeluk dan mencium saya dengan kehangatannya, memuaskan dahaga dan lapar saya akan kasih sayang sampai saya dimampukanNya untuk membagi kehangatan itu kepada sesama.
   Selama 8 tahun saya tidak pernah menceriterakan Kisah Kristus secara verbal dalam pelayanan menemani anak-anak itu belajar, namun tindakan Santi meyakinkan saya bahwa kehangatan Kristus yang merasuk dalam diri kami, ikut menjalari jiwa dan tubuhnya, yang memungkinkan ia untuk mulai menangkap bahwa “Ada Seorang Pribadi” di belakang kami, dan memungkinkan dia untuk memulai suatu proses pencarian yang tidak boleh dianggap sepele : “Tuhan-nya miss itu siapa dan kaya apa ?”, katanya. Saya percaya, Tuhan sendiri akan menemani proses pencarian seorang Santi dalam seluruh hidupnya. Saya menemukan mutiara Kerajaan Allah dalam dirinya. Saya mendapat perspektif baru akan ceritera Yesus tentang si pemuda kaya yang menjual seluruh harta miliknya untuk membeli mutiara itu …. Terima kasih Tuhan..

Sakramen Ekaristi / Eucharistie

 “Sakramen Ekaristi Menyuburkan
cintaku pada Kristus dan Sesama”

Monica Maria Meifung.
Sharing iman mengenai Sakramen Ekaristi pada Seminar Ekaristi,
 Kamis, 5 Mei 2005 di Paroki Arnoldus, Bekasi.

MENGAPA HARUS PINDAH GEREJA ?

Saya anak ke 4 dari 5 bersaudara, ayah Protestan, ibu Budha. Waktu menginjak usia sekolah, saya dimasukkan ke sebuah sekolah katolik (dikelola dan dipimpin oleh awam) yang sesekali menyelenggarakan misa untuk murid-murid. Tak ada sesuatu yang mengesan yang mampu saya ingat mengenai misa-misa di sekolah, karena sejak kelas 1 SD sampai dengan kelas 5 SD, kehidupan beriman saya tumbuh melalui Sekolah Minggu dan kebaktian di sebuah Gereja Pentakosta (selain karena tidak mengerti dan belum pernah ada yang menerangkan kepada saya apa itu misa). Ayah tak pernah ke gereja, saya rajin ke gereja karena diajak teman-teman tetangga dan merasa senang dengan banyak “oleh-oleh” yang didapat sepulang dari Gereja.

Ketika kelas 4 SD, seorang guru agama di sekolah mendaftarkan dan mengajak saya untuk “belajar agama” seminggu sekali sesudah jam sekolah usai. Saya sama sekali tak menyadari bahwa itu adalah kelas persiapan baptis menjadi katolik, kukira hanya pelajaran tambahan sekolah yang wajib diikuti. Kesadaran itu datang setahun kemudian ketika diberi formulir untuk dibawa pulang, harus diisi dan ditandatangani oleh orang tua. Kala itu saya masih rajin seminggu dua kali menghadiri kebaktian di sekolah minggu kesayanganku.

Seorang kakak perempuan yang sudah beberapa tahun lebih dulu menjadi katolik, mengejutkanku dengan berkata : “Nanti kalau kamu sudah dibaptis jadi katolik, tidak boleh pergi ke Gereja itu lagi ya…..” Dengan kebingungan saya tanya : “emangnya kenapa ?” Dengan ringan kakak menjawab : “Gerejanya berbeda !” Huuuu….. saya sedih bukan kepalang membayangkan harus berpisah dengan kakak-kakak pengasuh dan teman-teman yang kucintai, lalu (dengan tetap tak mengerti karena kukira semua gereja sama saja) saya tanya lagi : “jadi, saya harus pindah gereja, koq begitu ?” Pendek kata, mulai saat itu (umur 11 tahun) saya dilatih secara intensif oleh sang kakak untuk ikut kebaktian di gereja katolik. Sambil ikut misa, pikiran saya masih suka melayang di gereja yang sudah 4 tahun tekun saya hadiri. Koq beda ya ? Di “gerejaku” banyak nyanyinya, di “gereja kakakku” banyak doanya. Di “gerejaku” bisa nyanyi sambil melompat-lompat dan teriak-teriak, seru dan ramai sementara di “gereja kakakku” ini sunyi sepi dan semuanya tertib sekali. Di “gerejaku” kalau datang wajib membawa kitab suci, di “gereja kakakku” koq cuma bawa buku doa dan nyanyian (Madah Bakti). Di “gerejaku” kotbahnya lama, di “gereja kakakku” kotbahnya cuma sebentar sekali. Di “gerejaku” enggak ada rotinya, di “gereja kakakku” diberi roti kecil bulat dan tipis yang namanya hosti. Di “gerejaku” setiap pulang diberi PR yaitu satu ayat hafalan dari kitab suci, di “gereja kakakku” pulang nggak diberi PR apa-apa, yang harus dihafal bukan ayat-ayat kitab suci tetapi doa-doa : bapa kami, salam maria, aku percaya, doa tobat, dan seterusnya. Lengkaplah sudah kebingunganku di awal perpindahan gereja ini.

New Age..


"New Age dalam perspektif Sosiologi Agama"
Monica Maria Meifung

The Earth without beginning and end. The Earth of wonderful beauty. "The Earth of Spirit".  Look there, feel it. In the non-beginning sequence of world. Is one Magical Land. And it begins here. And it is Yourself. And it is all around. And its name is Infinite Spirit. Without beginning and end.
 Without borders and obstacles. Just in this very moment. Just look into Yourself. Just look around you. And maybe this Spirit will come to life again..

A. PENGANTAR
Akhir-akhir ini banyak orang dari seluruh dunia mempraktekkan New Age, yang menyodorkan tawaran-tawaran amat memukau dan menggiurkan. Darinya juga muncul banyak pilihan dalam bentuk buku-buku, musik, film (antara lain ’The Secret’, ’2012’), seminar, aneka lokakarya/pelatihan, praktek pengobatan alternatif serta terapi-terapi kesehatan, dan sebagainya. Kalimat-kalimat di bagian atas sebelum pengantar adalah syair dari sebuah lagu bernuansa New Age. Lagu tersebut mengajak orang untuk membayangkan dan merasakan ”bumi indah menawan, bumi tanpa awal dan tanpa akhir, yang dinamakan Roh Tanpa Batas, tanpa tepi dan tanpa rintangan, dan itu adalah Dirimu Sendiri”.
Menghadapi fenomena ini, tidak sedikit orang bertanya-tanya, apa itu New Age, bagaimana latar belakangnya, unsur-unsur apa yang ada di dalamnya, apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh new Age dan hal-hal apa saja yang dapat menjadi pintu masuk bagi New Age ? Bagaimana New Age menyikapi agama dan kebudayaan, apa pandangan New Age tentang alam semesta, dunia dan pribadi manusia?
 
B. APA ITU NEW AGE ?
New Age dapat diterjemahkan sebagai Era Baru, Jaman Baru, atau Abad Baru. Dengan menggunakan penanggalan berdasarkan rasi bintang yang berputar/bergerak searah jarum jam, para ahli astrologi berpendapat bahwa Abad Pisces (simbol ikan) yaitu suatu abad yang didominasi oleh Kekristenan, akan berlalu. Pada permulaan milenium ketiga dunia memasuki suatu abad baru yang disebut Abad Aquarius (simbol air). Dalam pengertian ini, New Age merupakan salah satu penjelasan mengenai arti dari makna saat ini (makna kekinian) di dalam sejarah.1) 
Kebaruan New Age dapat dipahami bukan hanya dari sudut waktu, tetapi dari sudut paradigma dan pelbagai muatan yang ditawarkan/dijanjikan sebagai jawaban atas suatu kebutuhan, yakni jawaban global di masa krisis, yang memberikan keseimbangan, ketenangan, kesejahteraan, kesembuhan dan sebagainya.
Dengan lain kata, New Age dapat didefinisikan secara positif sebagai:2)
Suatu ‘reaksi’ terhadap kebudayaan kontemporer dan sebuah ‘aliran’ pemikiran.
- Suatu ’jawaban’ atas masalah-masalah dan kebutuhan keagamaan.
- Sebuah ’bangunan terstruktur’ yang sinkretistik (memasukkan banyak unsur beraneka ke dalamnya).
- Suatu ’trend’/kecenderungan bersikap atau melakukan praktek-praktek tertentu yang mirip agama.
'Asosiasi’ yang sangat longgar antara pelbagai macam aktivitas/praksis, gagasan-gagasan dan orang-orang, yang mungkin tertarik pada “yang ilahi”.
- Sebuah ‘spiritualitas alternatif’. 
Suatu ’tradisi’ amat luas yang menyatukan dalam dirinya banyak sekali gagasan.

Thursday, November 18, 2010

Pelayanan Evangelisasi



Pelayanan Evangelisasi dalam Gereja
Melalui Pembaharuan Karismatik Katolik
Monica Maria Meifung – Konvenda 2008 di Kinasih, Bogor
A. PENGANTAR
      Kata “evangelisasi” berasal dari sejarah kuno, melalui kejadian dimana seorang budak dipilih untuk membawa kabar gembira kepada raja mengenai kemenangan di dalam suatu peperangan. Pembawa kabar baik ini kemudian dianugerahi kebebasan menjadi orang “merdeka”. Maka ia membawa kabar baik itu dengan berlari kencang sambil menari-nari dengan gembira, karena tugas itu sekaligus membawa kebebasan bagi dirinya. 1
      Kenyataan inilah yang dirumuskan dalam istilah ‘evangelisasi’. Evangelisasi adalah pewartaan Kabar Baik, bahwa di dalam Yesus Kristus, Putra Allah yang menjelma menjadi manusia, “keselamatan” ditawarkan kepada segenap umat manusia. Ini merupakan anugerah yang berupa rahmat dan belaskasih Allah. 2
      Imbauan Apostolik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, merumuskan Evangelisasi sebagai : membawa Kabar Baik kepada segala tingkat kemanusiaan, dan melalui pengaruh Injil merubah umat manusia dari dalam dan membuatnya menjadi baru : “Lihatlah Aku menjadikan segala sesuatu baru” (Why 21:5, 2 Kor 5:17, Gal 6:15).3
        Kita tak pernah bisa merumuskan secara sempurna, apa itu Evangelisasi. Evangelii Nuntiandi memberi bantuan dalam enam kata kunci yang dicatat sebagai unsur-unsur hakiki dari Evangelisasi, yaitu : pembaharuan, penginjilan kebudayaan, kesaksian hidup, pewartaan eksplisit, persekutuan umat beriman, dan terbitnya rasul-rasul baru. Satu demi satu dari kata-kata kunci tersebut dapat membawa kita kepada implikasi yang amat luas dan mendalam serta akan menjadi ‘pekerjaan rumah’ seumur hidup. Evangelisasi adalah Pewartaan Kabar Baik yang amat sangat kaya, dinamis, dan sekaligus kompleks juga. Maka apabila workshop ini selesai, kita belum akan menjadi orang yang mengerti segalanya tentang Evangelisasi. Kita akan melakukan sesuatu yang lebih sederhana saja : menjadi teman berefleksi satu sama lain untuk menjawab sebuah pertanyaan, apakah keterlibatanku di Pembaharuan Karismatik Katolik, membuat Gereja semakin mendekat kepada tujuan ia dilahirkan, yakni : membawa Kabar Baik kepada segala tingkat kemanusiaan, ......”?, sebagaimana dirumuskan dalam EN 18.
 
B. GEREJA DILAHIRKAN DARI & UNTUK EVANGELISASI
Yesus diutus untuk mewartakan Injil Kerajaan Allah (Luk 4:43). Ketika menyelesaikan tugasNya, menjelang naik ke Surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, Ia meninggalkan sebuah Amanat Agung (Mat 20:18-20). Kemudian diutuslah Roh Kudus yang dijanjikan oleh Yesus, Roh Kebenaran yang menjadi Penolong dan Penghibur (Yoh 14 : 16-26) yang amat diperlukan oleh murid-muridNya guna melaksanakan Amanat AgungNya : menjadi sebuah persekutuan yang memiliki daya untuk pergi sampai ke ujung-ujung bumi mewartakan misteri wafat dan kebangkitanNya. Dengan kata lain, Gereja lahir dari pewartaan Injil atau Evangelisasi.4 Evangelisasi merupakan perutusan hakiki Gereja, merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil.Panggilan tersebut tidak pernah berubah dan berlaku untuk Gereja masa kini dimana kita semua berada di dalamnya. Tak seorangpun dari kita dapat membebaskan diri dari panggilan yang mendasar ini. Tak satu institusi atau lembaga mana-pun yang bernafaskan iman kristiani, boleh mengecualikan dirinya dari tugas ikut berjuang melaksanakan perutusan hakiki Gereja yang satu ini : evangelisasi !

Teresa dari Calcutta ...

Teresa dari Calcutta; Makna kemiskinan yang dijiwai dan dihidupkan oleh seorang pendiri Misionaris Cinta Kasih
Monica Maria Meifung



A. Riwayat hidup
Teresa lahir pada 16 Agustus 1910 di Skopje, ibu kota Republik Albania Macedonia, sebagai anak ketiga dari pasangan Nikolle Bojaxhiu dan Drana Bernai. Tanggal 27 Agustus 1910 ia dibaptis dan diberi nama Gonxha (Agnes). Orang tua Agnes adalah orang saleh, terutama ibunya. Tahun 1919 ayahnya meninggal. Bersama dengan kakak laki-laki dan kakak perempuannya, ia bersekolah di sekolah negeri. Mereka hidup rukun dan bahagia, terlebih sejak ayahnya meninggal. Ibu Drana (orang tua Agnes), Agnes dan kakak perempuannya sangat aktif di Gereja Hati Kudus Yesus, yang letaknya bersebelahan dengan rumah mereka. Mereka ikut koor dan terlibat dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan para misionaris. Ibu Drana adalah orang yang sangat murah hati. Lazar, kakak lelaki Agnes, memberi kesaksian tentang ibu mereka : ”ia tidak pernah membiarkan orang-orang miskin yang datang mengetok pintu rumah kami pergi dengan tangan kosong.” Agnes kecil, telah merasakan secara samar-samar panggilan untuk menjadi biarawati sejak ia berusia dua belas tahun, namun selama bertahun-tahun panggilan tersebut tidak terungkap keluar. Saat itu ia aktif sebagai anggota ”putri-putri Bunda Maria” di parokinya. Pastor-pastor Jesuit di paroki tersebut, sangat mendukung minat Agnes untuk karya-karya misionaris.
Tahun 1928, dalam usia 18 tahun, dengan bimbingan dan bantuan seorang imam Jesuit dari Yugoslavia, Agnes melamar masuk biara Ordo para Suster dari Bunda Maria di Loreto (biasa dipanggil Irish Ladies), sebuah ordo yang didirikan oleh Mary Ward pada abad ke 16 di Inggris. Agnes tertarik oleh karya mereka di India. Tahun 1929 ia mendapat kesempatan tinggal satu minggu di Calcutta setelah menempuh 37 hari perjalanan dengan kapal laut dari Dublin, lalu dikirim ke Darjeeling di kaki gunung Himalaya untuk karya di bidang pendidikan. Tahun 1931 ia mengucapkan kaul sementara, dan mengganti nama panggilan baptisnya menjadi Teresa yang dipilihnya dari Santa Teresia Lisieux yang sering disebut Teresia dari kanak-kanak Yesus. Setelah kaul sementara ini, Suster Teresa tinggal di Calcutta dan bertugas menjadi guru ilmu bumi dan sejarah di Sekolah St. Mary yang dikelola oleh para Suster dari Bunda Maria di Loreto. Tahun 1937 Teresa mengucapkan kaul terakhir dan melanjutkan karya pendidikan yang sangat ia sukai, sampai kemudian menjadi Direktur pendidikan di sekolah tersebut. 
Tahun 1946, selama perjalanan dari Calcutta menuju Darjeeling, Teresa merasakan adanya sebuah panggilan ketika ia secara diam-diam berdoa di dalam hatinya. Panggilannya sangat jelas, yaitu : harus meninggalkan biara dan mengabdikan hidupnya untuk menolong orang miskin, dengan cara hidup tinggal bersama mereka. Teresa merasakannya sebagai suatu perintah yang sangat jelas arahnya harus kemana, namun ia tidak tahu bagaimana caranya. Dua tahun kemudian, tahun 1948 Teresa mendapat izin dari Roma untuk mengikuti panggilan baru tersebut, yang ia sebut sebagai ”panggilan dalam panggilan”. Tahun 1949 Teresa mendapat pengikut pertama yaitu seorang mantan muridnya, yang kemudian menjadi Suster yang pertama dari ordo yang sedang didirikannya. Tanggal 7 Oktober 1950, pada pesta Bunda Maria Ratu Rosario, Ordo Missionaries Of Charity (Misionaris Cinta Kasih) disahkan oleh Roma. Pada waktu itu ada sepuluh orang wanita mulai menjalani masa percobaan mereka selama dua tahun.
            Teresa meninggal pada tanggal 5 September 1997 dalam usia 87 tahun, di rumah Misionaris Cinta Kasih di Calcutta. Kepergiannya ke Rumah Abadi, dirasakan sebagai sebuah “kehilangan besar” oleh seluruh bagsa dan seluruh agama serta kepercayaan dari segala lapisan sosial ekonomi di dunia ini. Pada tahun 2007, Missionaries of Charity telah beranggotakan 4500 suster (belum termasuk imam dan bruder) yang berkarya di 133 negara.

B. Kekhasan Missionaries of Charity (Misionaris Cinta Kasih)
Para pengikut Teresa dari Calcutta (suster, imam, bruder) mengucapkan kaul ke empat, yaitu memberikan pelayanan yang tulus ikhlas dan sepenuh hati, tanpa pamrih kepada orang-orang yang termiskin di antara kaum miskin, sebagai suatu pernyataan cinta kasih mereka kepada Kristus.

Menjawab Kebodohan dan Kemiskinan...



Menjawab Kebodohan dan Kemiskinan di Kota Jakarta melalui Pancasila, antara Harapan dan Kenyataan
Monica Maria Meifung - Des 2009
A. Pengantar
Jakarta disebut metropolitan yang berarti kota besar. Kota besar yang sekaligus ibu kota sebuah negara sering dibayangkan oleh banyak orang sebagai sebuah kota yang hidup, ramai, maju, dinamis dan sebagainya. Kota besar yang ’nampaknya menjanjikan’ selalu menarik perhatian dan mengundang banyak pendatang dari pelbagai penjuru. Berbagai fasilitas yang tersedia dan menunjang kemajuan hidup di sebuah kota besar menyebabkan urbanisasi mencapai arus dan angka tinggi. Berbondong-bondong orang dari daerah datang ke kota besar. Mereka meninggalkan daerah atau desanya di tempat-tempat yang lebih terpencil, datang ke kota dengan membawa seluruh impian dan harapan akan hidup yang lebih baik, untuk diwujudkan di kota besar. Akan tetapi, perpindahan sering dilakukan oleh banyak orang tanpa perhitungan cermat apakah mereka memiliki kapabilitas yang cukup untuk bertahan hidup di kota besar. Semangat untung-untungan mengadu nasib tanpa bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai sering menjadi warna kental sebuah urbanisasi.
            Ketika arus perpindahan tersebut mencapai sebuah angka yang tak terbendung dan tak terkendalikan lagi, masalah yang tadinya merupakan masalah segelintir orang berubah menjadi masalah komunal dan struktural dengan seribu satu runtutan masalah lain yang melilit bagaikan lingkaran setan. Ada seribu satu kisah sukses tentang urbanisasi, tetapi tidak kurang juga kisah-kisah yang mengenaskan dan serasa menampar harga diri sebuah bangsa. Tingginya arus urbanisasi di satu pihak menguntungkan para pemilik modal, antara lain menyebabkan tersedianya tenaga kerja murah di berbagai sektor industri dan perdagangan. Namun di lain pihak membawa akibat berat, kota besar yang bersangkutan tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjamin kesejahteraan yang didambakan oleh para pendatang. Lowongan-lowongan pekerjaan tidak semua dapat terisi karena minimnya kualitas dari subyek atau si calon pekerja.  
Banyaknya jumlah pengangguran meningkatkan angka kemiskinan dan kelaparan dimana-mana. Kemiskinan sering memicu kejahatan dan melahirkan kebodohan. Kebodohan menurunkan kualitas warga atau anggota masyarakat sebuah negara, dan seterusnya. Jurang antara kaya dan miskin, antara orang pandai dan orang bodoh menjadi semakin tidak terelakkan lagi. Yang kaya semakin kaya dan yang bodoh semakin bodoh serta bertambah terus jumlahnya dari hari ke hari. Masalah kemiskinan seringkali berkaitan bukan pertama-tama dengan kekurangan sumber daya alam tetapi lebih dikarenakan tidak meratanya pembagian hasil dari pengelolaan sumber daya alam yang menciptakan ketidakadilan. Dan bukan hanya ketidakadilan secara perorangan namun ketidakadilan struktural.

B. Cita-Cita Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Tak dapat disangkal bahwa situasi tersebut di atas juga merupakan bagian dari potret wajah Jakarta sebagai metropolitan. Barangkali sulit untuk membayangkan bahwa beberapa ratus meter dari Istana Negara di Jakarta, terdapat sebuah stasiun kereta api yang dipadati pemukiman kumuh dengan aneka masalah sosial di dalamnya. Disana kumpul sejumlah pemulung bersama keluarganya masing-masing dengan situasi dan kondisi memprihatinkan. Beberapa tahun yang lalu, di emperen stasiun itu seorang ibu meninggal akibat TBC akut dengan hanya ditemani seekor kucing kesayangannya. Disana juga, seorang anak perempuan berumur 9 tahun diberi bea siswa untuk sekolah, 3 bulan kemudian putus sekolah atas dukungan orang tua karena harus membantu mereka mencari nafkah dengan mengamen di jalanan. Ada anak kelas 3 Sekolah Dasar, tetapi tidak dapat menjawab soal 5 ditambah 2 sama dengan berapa. Kisah-kisah ini hanyalah sebagian kecil dari ribuan atau bahkan jutaan kisah yang serupa, dan terjadi di salah satu sudut tempat dari ribuan tempat yang merupakan kantong-kantong kemiskinan kota Jakarta.
”Setiap hari kurang lebih 24.000 (dua puluh empat ribu) manusia di seluruh dunia terbunuh oleh kelaparan. Sepuluh tahun yang lalu, kelaparan membunuh lebih banyak lagi yaitu 35.000 – 45.000 jiwa setiap harinya. Tiga per empat (75 %) dari mereka yang terbunuh adalah balita. Sekarang 10 % dari seluruh anak di negera berkembang tewas sebelum genap berusia lima tahun” (Khudori, 2005, Lapar : Negeri Salah Urus). Mengutip dari Khudori dalam buku yang sama : ”Kelaparan adalah persoalan distribusi yang timpang (maldistribution) dan masalah ketidakadilan, bukan masalah kekurangan pangan. Makanya, meskipun ada kelimpahan, kelaparan tetap saja menghantui.” (WHO, 2001, Determinants of Malnutrition).  
Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian penting dari yang telah dicita-citakan oleh Indonesia. Hal ini pernah diproklamirkan secara tegas melalui Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut : ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
            Enam puluh lima tahun telah berlalu sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Realita akan kemiskinan, kelaparan dan kebodohan tetap merajalela. Kenyataan pahit ini menyajikan sebuah refleksi, apakah sejumlah cita-cita yang luhur, khususnya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang dirumuskan dan dinyatakan di hadapan publik itu telah sungguh diperjuangkan ? Masihkah  kedua hal ini merupakan prioritas perjuangan untuk membawa Indonesia menjadi sebuah masyarakat dan bangsa yang lebih berkualitas ?  Kemerdekaan bukan sekedar membebaskan diri untuk lepas dari tekanan, penjajahan dan perlakuan tidak adil dari pihak luar, namun juga melepaskan diri dari penjara kemiskinan dan kebodohan. Kemerdekaan harus diisi untuk mencapai kepenuhan dan maknanya yang sejati. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah sekedar hasrat yang dilambungkan untuk bebas dari penjajahan. Unsur-unsur pokoknya dengan tegas telah dituangkan juga sebagai unsur penting dari dasar negara Indonesia yaitu Pancasila, terutama pada sila ke 2 yang mencita-citakan kemanusiaan dan sila ke 5 yang mencita-citakan keadilan sosial.

C. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Manusia memiliki nilai dari dirinya sendiri sebagai manusia. Rasa dan sikap hormat terhadap kemanusiaan telah mengobarkan semangat dari begitu banyak pahlawan yang rela mati bagi kemerdekaan. Mereka sadar bahwa penjajahan dan penindasan bukan hanya bertentangan dengan kemanusiaan akan tetapi juga merusaknya. Kemerdekaan merupakan syarat penting untuk membangun kemanusiaan. Manusia tak bisa hidup tanpa kemerdekaan, seluruh segi kemanusiaannya akan lumpuh jika kebebasannya dirampas. Maka kemerdekaan yang diraih oleh suatu bangsa tidak akan bermakna apabila tidak dilanjutkan atau tidak diisi dengan upaya-upaya untuk mengembangkan kemanusiaan. Kemerdekaan suatu masyarakat perlu dibangun dan dikembangkan untuk membangun ‘kemanusiaan yang (semakin) adil dan beradab’. Itulah bunyi sila kedua dari Pancasila. Ketuhanan yang Maha Esa tentu saja menjadi dasar berpijak atau landasan yang memberi arah bahwa kemanusiaan yang hendak diperjuangkan tidak lain adalah martabat luhur manusia sebagai citra atau ciptaan Allah. Mengabaikan kemanusiaan sama dengan mengabaikan Allah sebagai Pencipta manusia. Melalaikan kewajiban untuk melaksanakan sila yang kedua, sama dengan bersikap tidak peduli terhadap sila yang pertama.
Sila kedua ini hendak menjamin harkat dan martabat setiap warga negara sebagai manusia yang berhak untuk menerima keadilan dan diperlakukan secara adil, termasuk adil dalam menerima  hak untuk mendapat pendidikan yang layak guna membangun kemanusiaannya. Keadilan itu harus diberikan oleh negara serta diterima oleh warga negara dalam cara-cara yang semakin membebaskan manusia, menghargai dan menghormati kedudukannya sebagai manusia di hadapan Tuhan dan di hadapan sesamanya. Kemanusiaan yang beradab harus dibangun juga dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang beradab. Kemanusiaan yang beradab menuntut setiap orang untuk memandang dan menghargai sesamanya bukan sebagai obyek tetapi sebagai subyek. Kemanusiaan seharusnya mendorong orang untuk melihat sesamanya bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan,  tetapi menempatkan sesama manusia sebagai bagai pusat dan tujuan dari segala perjuangan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa meminta komitmen yang tidak sedikit untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana membangun kemanusiaan, bukan sebaliknya : memanfaatkan manusia untuk keuntungan (segelintir orang) di bidang pendidikan. Sering terjadi pendidikan tidak lagi menjadi hak yang harus dibela, dijamin dan diberikan untuk mengembangkan hidup manusia, tetapi menjadi suatu komoditi mahal yang semakin tidak menjangkau dan tidak terjangkau oleh orang miskin. Apakah pendidikan di Indonesia telah mencapai tujuan utamanya yaitu membangun kemanusiaan ? Atau justru kemanusiaan dikorbankan bagi pendidikan dan bagi orang-orang yang berkepentingan mencari untung sebanyak-banyaknya dengan mengatasnamakan pendidikan ? Pendidikan yang tidak membangun kemanusiaan hanyalah menjadi alat yang melanggengkan ketidakadilan dan ketidakadaban. Kebodohan sebagai akibat kemiskinan akan sulit diatasi baik kuantitas maupun kualitas, apabila pendidikan tidak sungguh mengabdi cita-cita luhur terbangunnya kemanusiaan yang adil dan beradab.
Cita-cita pada sila kedua dari Pancasila seyogyanya menjadi dasar dan landasan bagi perjuangan di bidang pendidikan, guna menarik sebanyak mungkin orang keluar dari kebodohan akibat kemiskinan. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang ikut melawan dan mengatasi struktur yang tidak adil demi terbangunnya kemanusiaan yang sejati pula. Patutlah dicemaskan dan diwaspadai, apakah tingginya tingkat kebodohan di Indonesia sungguh disebabkan oleh kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, atau lebih disebabkan bahwa sarana dan prasarana pendidikan yang ada (dan sebenarnya mungkin memadai) diberikan kepada warga negara atau kepada masyarakat dengan tidak mengutamakan dan tidak memperjuangkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Akibatnya : yang pandai semakin pandai dan maju, yang bodoh semakin bodoh dan tertinggal. Dalam perspektif ini, masalah kebodohan bukan hanya sekedar masalah di bidang pendidikan, tetapi merupakan masalah kemanusiaan.

D. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila kelima dari Pancasila ini disimbolkan dengan gambar padi dan kapas. Melalui simbol tersebut Negara ingin menjamin bahwa ada kecukupan pangan dan sandang bagi setiap warga. Indonesia sering disebut ’negara swa-sembada beras’. Namun realita di beberapa kawasan Indonesia ada sejumlah orang harus meninggal karena kelaparan, bukanlah berita yang mengejutkan. Mengapa ada begitu banyak anak jalanan di Jakarta ? Mereka tidak perlu meninggalkan bangku sekolah dan tidak perlu berkeliaran di jalan apabila orang tua mereka mampu memberi rasa aman dengan makan-minum yang memadai. Mereka dibiarkan dan bahkan tidak sedikit yang didorong oleh orang tuanya untuk mengamen atau mencari uang di jalan, antara lain guna mengurangi beban orang tua untuk memberi makan kepada mereka. Anak-anak di bawah umur berjualan koran di jalan-jalan guna menghidupi bukan hanya dirinya sendiri tetapi juga orang tuanya. Negara yang menjamin kecukupan pangan dan sandang setiap warga seyogyanya tidak membiarkan anak-anak di bawah umur berkeliaran di jalan-jalan untuk mencari nafkah. Keadilan sosial merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang layak diperjuangkan dengan lebih bersungguh-sungguh.
Keadilan bukan hanya memiliki dimensi personal, tetapi juga sosial dan struktural. Semua bangsa dan negara mendambakan keadilan, tidak ada negara yang menentang diperjuangkannya keadilan. Prinsip atau sila ini memberi jaminan bahwa setiap warga bebas mendapat akses untuk membangun hidup dan kesejahteraannya. Namun dimensi atau aspek sosial dari keadilan menuntut atau mewajibkan setiap orang untuk melaksanakan haknya menurut prinsip kebaikan bersama. Ia bebas untuk mengusahakan kesejahteraan dirinya, tanpa boleh merugikan kesejahteraan orang lain atau pihak lain. Pencarian keuntungan atau kesejahteraan oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak boleh ditempuh dengan merugikan kesejahteraan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Keadilan yang dicita-citakan sebuah masyarakat membutuhkan kesadaran mendalam dan semangat yang sejati pada diri setiap warga akan keterkaitan hidupnya dengan sesama warga lain. Keadilan sosial mengandaikan solidaritas, ia hanya dapat diwujudkan dalam kepedulian satu sama lain. Disini sila ketiga ikut memberi makna dan menjadi sumbangan amat penting, yaitu bahwa keadilan sosial hendak diraih dengan semangat persatuan dan gotong royong, bukan dengan semangat mementingkan diri atau kelompok atau golongannya sendiri.
Semangat persatuan pernah mencapai kepenuhan maknanya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ketika para pejuang mengikrarkan semangat tersebut (satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa) di hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kiranya bukan mimpi belaka, namun suatu cita-cita yang terus-menerus hendak diwujudkan secara berkesinambungan dalam semangat kesatuan. Semangat keadilan sosial membantu manusia menemukan jati dirinya secara penuh dalam kesadaran akan kehadiran orang lain dan dalam dorongan untuk berbagi serta berbuat baik bagi orang lain. Idealisme keadilan sosial mendorong manusia untuk melihat sesamanya bukan sebagai musuh melainkan sebagai sebuah ajakan atau panggilan untuk memiliki sikap bertanggungjawab. Akankah Pancasila membawa bangsa Indonesia menuju kemanusiaan, persatuan dan keadilan yang didambakan oleh seluruh masyarakatnya ? Akankah Pancasila sungguh menjadi penggerak utama yang berhasil menekan atau meminimalkan secara konsisten angka kemiskinan dan kebodohan di Indonesia ? 

E. Refleksi Teologis
Allah Pencipta langit dan bumi serta Pencipta manusia, adalah Allah yang baik bagi semua orang. Ia memberikan matahari kepada orang baik dan sekaligus orang jahat. Ia adalah Penyelenggara yang adil bagi umat manusia ciptaanNya. ”Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih” (GS 69). ”Oleh karena itu manusia, sementara menggunakan kepemilikannya, harus memandang hal-hal lahiriah yang dimilikinya secara sah bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya” (GS 69). Itulah perwujudan sejati semangat solidaritas guna mencapai kesejahteraan bersama.   
Meskipun kuasa kegelapan telah merusak dunia dan manusia dengan berbagai buah kejahatannya (keserakahan, ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya), dengan berbagai cara pula Allah menyatakan serta menyerukan keadilanNya kepada segenap isi bumi ini. Ia memilih dan mengutus umat pilihanNya untuk meneruskan warta keadilan yang menyelamatkan manusia. Gereja bukanlah kumpulan orang yang hidup terasing memisahkan diri dari dunia. Sebagai persekutuan jemaat yang beriman kepada Kristus, Putera Allah, Gereja tinggal di tengah-tengah dunia dengan segala dinamika kemajuan dan tantangan yang terbentang di hadapannya. Mengutip Gaudium et Spes artikel 1, ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka” (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini). Sejak Rerum Novarum (tahun 1891) sampai dengan Centesimus Annus (tahun 1991) Gereja dengan tak henti-hentinya menyerukan dan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum demi penghargaan terhadap martabat luhur manusia. Para bapa Gereja, antara lain para Paus telah mengorbankan banyak waktu, perhatian dan tenaga dalam hidup mereka, untuk ikut menggerakkan dunia agar sungguh mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan-tindakan keadilan, solidaritas, subsidiriaritas. Gereja juga ikut prihatin akan sejumlah masalah sosial yang disebabkan oleh konflik antar kelas atau perkumpulan dan perselisihan akan kepemilikan. Gereja mendorong keterlibatan semua pihak dan semua unsur untuk ikut memperjuangkan terciptanya komunitas manusia yang lebih manusiawi di dunia ini. ”Kaum beriman maupun tak beriman hampir sependapat, bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya” (GS 12). Gereja mendukung pelbagai upaya yang mendorong lahirnya kesadaran akan martabat manusia yang semakin mendalam pada diri semua pihak, khususnya mereka yang memegang kendali atas kehidupan sosial ekonomi dan kesejahteraan umum manusia di bumi ini.

F. Kesimpulan
Kemiskinan dan kebodohan sebagai akibat dari kemiskinan tidak semestinya dilihat hanya sebagai masalah pribadi atau perorangan dari si miskin. Kemiskinan adalah masalah universal yang lahir bukan semata karena keterbatasan sumber-sumber daya, namun lebih karena ketidakadilan dan tidak terdistribusikannya sumber-sumber daya alam secara merata. Upaya kemiskinan membutuhkan keterlibatan semua pihak tanpa kecuali. Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya telah memuat sejumlah idealisme untuk mendorong baik Pemerintah maupun seluruh unsur masyarakat, ke arah terciptanya kemanusiaan, persatuan, solidaritas dan keadilan yang membawa orang keluar dari kemiskinannya. Sikap hormat terhadap dasar suatu negara perlu ditumbuhkan terus melalui pembinaan suara hati. Peran keluarga dan pendidikan di sekolah harus dipusatkan pada pengembangan suara hati yang sungguh menjunjung tinggi martabat pribadi manusia. Sementara itu Negara harus ada demi kesejahteraan umum. Negara harus menemukan dasar keberadaan dan makna sepenuhnya dalam upaya untuk membangun kesejahteraan warganya.  ”Dengan demikian negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, ....” (GS 74 mengenai hakekat dan tujuan negara).    
Gereja sebagai umat Allah merupakan juga warga dari bangsa manusia yang hendak memperjuangkan terwujudnya kehidupan yang sungguh manusiawi. Memang, di bidang masing-masing Negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling tergantung. ”Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelayanan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, semakin baik keduanya menjalin kerjasama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan semasa” (GS 76). Keterlibatan Gereja di tengah-tengah dunia untuk ikut membangun dunia yang lebih layak bagi komunitas manusia, membantu banyak pihak untuk semakin menyadari bahwa, ”manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk hidup kekal” (GS 76).
-----------------------------------------------------------------------


GS = Gaudium et Spes
Jakarta, Desember 2009

Santa Monica

Santa Monica dan Teresa dari Calcutta


Hari ini, 27 Agustus 2010, Gereja merayakan pesta St. Monica yang hidup di abad ke 4 (333-387), dan juga bertepatan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Beata Teresa dari Calcutta yang hidup di abad 20 (27 Agustus 1910).
‎​
Monica berkeluarga dengan seorang suami dan 3 anak, sedangkan Teresa adalah seorang biarawati (tidak menikah). Meskipun mengambil cara hidup yang berbeda, keduanya memiliki kemiripan : kesederhanaan dan ketekunan dlm berbuat baik.
‎​
Monica tekun mendoakan suami dan anaknya yang tidak respect / tidak menghiraukan teladan hidup dan kebaikan hatinya. Ketekunan Monica dalam berdoa dan berbuat baik, melahirkan pertobatan anaknya yaitu Agustinus yang kemudian menjadi Uskup dan Pujangga Gereja yang sangat termasyur.

‎Teresa dari Calcutta : 
tidak ada negara maupun agama yg tidak mengakui keutamaannya dalam berbelas kasih kepada orang-orang termiskin dari yang miskin. Beberapa nasehatnya yang terkenal antara lain :
1. Love starts at home (Cinta mulai di rumah)
‎​2. Tuhan tidak memanggilku untuk sukses, melainkan untuk setia.
3. Apabila kebaikanmu tidak digubris, tetaplah berbuat baik.

‎​Semoga kita, para ibu dan pemudi-pemudi,
menjadi perempuan yang pantas diteladani dan dibanggakan oleh suami, anak-anak dan oleh keluarga kita. Semoga kebaikan Tuhan sehari-hari mendorong kita untuk menjadi orang yang tahu berterimakasih dan dengan murah hati mau berbagi dengan sesama khususnya orang-orang miskin.
‎​

Semoga kita tidak jemu2 berbuat baik pun ketika kebaikan kita tidak disambut dgn pantas. Semoga kita tumbuh dlm keutamaan2 surgawi dan cinta ilahi yg tulus, penuh syukur, kerendahan hati dan kejujuran untuk membangun persaudaraan murni dan sejati.



Jakarta, 27 Agustus 2010