Menjawab Kebodohan dan Kemiskinan di Kota Jakarta melalui Pancasila, antara Harapan dan Kenyataan
Monica Maria Meifung - Des 2009
A. Pengantar
Jakarta disebut metropolitan yang berarti kota besar. Kota besar yang sekaligus ibu kota sebuah negara sering dibayangkan oleh banyak orang sebagai sebuah kota yang hidup, ramai, maju, dinamis dan sebagainya. Kota besar yang ’nampaknya menjanjikan’ selalu menarik perhatian dan mengundang banyak pendatang dari pelbagai penjuru. Berbagai fasilitas yang tersedia dan menunjang kemajuan hidup di sebuah kota besar menyebabkan urbanisasi mencapai arus dan angka tinggi. Berbondong-bondong orang dari daerah datang ke kota besar. Mereka meninggalkan daerah atau desanya di tempat-tempat yang lebih terpencil, datang ke kota dengan membawa seluruh impian dan harapan akan hidup yang lebih baik, untuk diwujudkan di kota besar. Akan tetapi, perpindahan sering dilakukan oleh banyak orang tanpa perhitungan cermat apakah mereka memiliki kapabilitas yang cukup untuk bertahan hidup di kota besar. Semangat untung-untungan mengadu nasib tanpa bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai sering menjadi warna kental sebuah urbanisasi.
Ketika arus perpindahan tersebut mencapai sebuah angka yang tak terbendung dan tak terkendalikan lagi, masalah yang tadinya merupakan masalah segelintir orang berubah menjadi masalah komunal dan struktural dengan seribu satu runtutan masalah lain yang melilit bagaikan lingkaran setan. Ada seribu satu kisah sukses tentang urbanisasi, tetapi tidak kurang juga kisah-kisah yang mengenaskan dan serasa menampar harga diri sebuah bangsa. Tingginya arus urbanisasi di satu pihak menguntungkan para pemilik modal, antara lain menyebabkan tersedianya tenaga kerja murah di berbagai sektor industri dan perdagangan. Namun di lain pihak membawa akibat berat, kota besar yang bersangkutan tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjamin kesejahteraan yang didambakan oleh para pendatang. Lowongan-lowongan pekerjaan tidak semua dapat terisi karena minimnya kualitas dari subyek atau si calon pekerja.
Banyaknya jumlah pengangguran meningkatkan angka kemiskinan dan kelaparan dimana-mana. Kemiskinan sering memicu kejahatan dan melahirkan kebodohan. Kebodohan menurunkan kualitas warga atau anggota masyarakat sebuah negara, dan seterusnya. Jurang antara kaya dan miskin, antara orang pandai dan orang bodoh menjadi semakin tidak terelakkan lagi. Yang kaya semakin kaya dan yang bodoh semakin bodoh serta bertambah terus jumlahnya dari hari ke hari. Masalah kemiskinan seringkali berkaitan bukan pertama-tama dengan kekurangan sumber daya alam tetapi lebih dikarenakan tidak meratanya pembagian hasil dari pengelolaan sumber daya alam yang menciptakan ketidakadilan. Dan bukan hanya ketidakadilan secara perorangan namun ketidakadilan struktural.
B. Cita-Cita Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Tak dapat disangkal bahwa situasi tersebut di atas juga merupakan bagian dari potret wajah Jakarta sebagai metropolitan. Barangkali sulit untuk membayangkan bahwa beberapa ratus meter dari Istana Negara di Jakarta, terdapat sebuah stasiun kereta api yang dipadati pemukiman kumuh dengan aneka masalah sosial di dalamnya. Disana kumpul sejumlah pemulung bersama keluarganya masing-masing dengan situasi dan kondisi memprihatinkan. Beberapa tahun yang lalu, di emperen stasiun itu seorang ibu meninggal akibat TBC akut dengan hanya ditemani seekor kucing kesayangannya. Disana juga, seorang anak perempuan berumur 9 tahun diberi bea siswa untuk sekolah, 3 bulan kemudian putus sekolah atas dukungan orang tua karena harus membantu mereka mencari nafkah dengan mengamen di jalanan. Ada anak kelas 3 Sekolah Dasar, tetapi tidak dapat menjawab soal 5 ditambah 2 sama dengan berapa. Kisah-kisah ini hanyalah sebagian kecil dari ribuan atau bahkan jutaan kisah yang serupa, dan terjadi di salah satu sudut tempat dari ribuan tempat yang merupakan kantong-kantong kemiskinan kota Jakarta.
”Setiap hari kurang lebih 24.000 (dua puluh empat ribu) manusia di seluruh dunia terbunuh oleh kelaparan. Sepuluh tahun yang lalu, kelaparan membunuh lebih banyak lagi yaitu 35.000 – 45.000 jiwa setiap harinya. Tiga per empat (75 %) dari mereka yang terbunuh adalah balita. Sekarang 10 % dari seluruh anak di negera berkembang tewas sebelum genap berusia lima tahun” (Khudori, 2005, Lapar : Negeri Salah Urus). Mengutip dari Khudori dalam buku yang sama : ”Kelaparan adalah persoalan distribusi yang timpang (maldistribution) dan masalah ketidakadilan, bukan masalah kekurangan pangan. Makanya, meskipun ada kelimpahan, kelaparan tetap saja menghantui.” (WHO, 2001, Determinants of Malnutrition).
Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan bagian penting dari yang telah dicita-citakan oleh Indonesia. Hal ini pernah diproklamirkan secara tegas melalui Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut : ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Enam puluh lima tahun telah berlalu sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Realita akan kemiskinan, kelaparan dan kebodohan tetap merajalela. Kenyataan pahit ini menyajikan sebuah refleksi, apakah sejumlah cita-cita yang luhur, khususnya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang dirumuskan dan dinyatakan di hadapan publik itu telah sungguh diperjuangkan ? Masihkah kedua hal ini merupakan prioritas perjuangan untuk membawa Indonesia menjadi sebuah masyarakat dan bangsa yang lebih berkualitas ? Kemerdekaan bukan sekedar membebaskan diri untuk lepas dari tekanan, penjajahan dan perlakuan tidak adil dari pihak luar, namun juga melepaskan diri dari penjara kemiskinan dan kebodohan. Kemerdekaan harus diisi untuk mencapai kepenuhan dan maknanya yang sejati. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah sekedar hasrat yang dilambungkan untuk bebas dari penjajahan. Unsur-unsur pokoknya dengan tegas telah dituangkan juga sebagai unsur penting dari dasar negara Indonesia yaitu Pancasila, terutama pada sila ke 2 yang mencita-citakan kemanusiaan dan sila ke 5 yang mencita-citakan keadilan sosial.
C. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Manusia memiliki nilai dari dirinya sendiri sebagai manusia. Rasa dan sikap hormat terhadap kemanusiaan telah mengobarkan semangat dari begitu banyak pahlawan yang rela mati bagi kemerdekaan. Mereka sadar bahwa penjajahan dan penindasan bukan hanya bertentangan dengan kemanusiaan akan tetapi juga merusaknya. Kemerdekaan merupakan syarat penting untuk membangun kemanusiaan. Manusia tak bisa hidup tanpa kemerdekaan, seluruh segi kemanusiaannya akan lumpuh jika kebebasannya dirampas. Maka kemerdekaan yang diraih oleh suatu bangsa tidak akan bermakna apabila tidak dilanjutkan atau tidak diisi dengan upaya-upaya untuk mengembangkan kemanusiaan. Kemerdekaan suatu masyarakat perlu dibangun dan dikembangkan untuk membangun ‘kemanusiaan yang (semakin) adil dan beradab’. Itulah bunyi sila kedua dari Pancasila. Ketuhanan yang Maha Esa tentu saja menjadi dasar berpijak atau landasan yang memberi arah bahwa kemanusiaan yang hendak diperjuangkan tidak lain adalah martabat luhur manusia sebagai citra atau ciptaan Allah. Mengabaikan kemanusiaan sama dengan mengabaikan Allah sebagai Pencipta manusia. Melalaikan kewajiban untuk melaksanakan sila yang kedua, sama dengan bersikap tidak peduli terhadap sila yang pertama.
Sila kedua ini hendak menjamin harkat dan martabat setiap warga negara sebagai manusia yang berhak untuk menerima keadilan dan diperlakukan secara adil, termasuk adil dalam menerima hak untuk mendapat pendidikan yang layak guna membangun kemanusiaannya. Keadilan itu harus diberikan oleh negara serta diterima oleh warga negara dalam cara-cara yang semakin membebaskan manusia, menghargai dan menghormati kedudukannya sebagai manusia di hadapan Tuhan dan di hadapan sesamanya. Kemanusiaan yang beradab harus dibangun juga dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang beradab. Kemanusiaan yang beradab menuntut setiap orang untuk memandang dan menghargai sesamanya bukan sebagai obyek tetapi sebagai subyek. Kemanusiaan seharusnya mendorong orang untuk melihat sesamanya bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi menempatkan sesama manusia sebagai bagai pusat dan tujuan dari segala perjuangan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa meminta komitmen yang tidak sedikit untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana membangun kemanusiaan, bukan sebaliknya : memanfaatkan manusia untuk keuntungan (segelintir orang) di bidang pendidikan. Sering terjadi pendidikan tidak lagi menjadi hak yang harus dibela, dijamin dan diberikan untuk mengembangkan hidup manusia, tetapi menjadi suatu komoditi mahal yang semakin tidak menjangkau dan tidak terjangkau oleh orang miskin. Apakah pendidikan di Indonesia telah mencapai tujuan utamanya yaitu membangun kemanusiaan ? Atau justru kemanusiaan dikorbankan bagi pendidikan dan bagi orang-orang yang berkepentingan mencari untung sebanyak-banyaknya dengan mengatasnamakan pendidikan ? Pendidikan yang tidak membangun kemanusiaan hanyalah menjadi alat yang melanggengkan ketidakadilan dan ketidakadaban. Kebodohan sebagai akibat kemiskinan akan sulit diatasi baik kuantitas maupun kualitas, apabila pendidikan tidak sungguh mengabdi cita-cita luhur terbangunnya kemanusiaan yang adil dan beradab.
Cita-cita pada sila kedua dari Pancasila seyogyanya menjadi dasar dan landasan bagi perjuangan di bidang pendidikan, guna menarik sebanyak mungkin orang keluar dari kebodohan akibat kemiskinan. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang ikut melawan dan mengatasi struktur yang tidak adil demi terbangunnya kemanusiaan yang sejati pula. Patutlah dicemaskan dan diwaspadai, apakah tingginya tingkat kebodohan di Indonesia sungguh disebabkan oleh kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, atau lebih disebabkan bahwa sarana dan prasarana pendidikan yang ada (dan sebenarnya mungkin memadai) diberikan kepada warga negara atau kepada masyarakat dengan tidak mengutamakan dan tidak memperjuangkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Akibatnya : yang pandai semakin pandai dan maju, yang bodoh semakin bodoh dan tertinggal. Dalam perspektif ini, masalah kebodohan bukan hanya sekedar masalah di bidang pendidikan, tetapi merupakan masalah kemanusiaan.
D. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila kelima dari Pancasila ini disimbolkan dengan gambar padi dan kapas. Melalui simbol tersebut Negara ingin menjamin bahwa ada kecukupan pangan dan sandang bagi setiap warga. Indonesia sering disebut ’negara swa-sembada beras’. Namun realita di beberapa kawasan Indonesia ada sejumlah orang harus meninggal karena kelaparan, bukanlah berita yang mengejutkan. Mengapa ada begitu banyak anak jalanan di Jakarta ? Mereka tidak perlu meninggalkan bangku sekolah dan tidak perlu berkeliaran di jalan apabila orang tua mereka mampu memberi rasa aman dengan makan-minum yang memadai. Mereka dibiarkan dan bahkan tidak sedikit yang didorong oleh orang tuanya untuk mengamen atau mencari uang di jalan, antara lain guna mengurangi beban orang tua untuk memberi makan kepada mereka. Anak-anak di bawah umur berjualan koran di jalan-jalan guna menghidupi bukan hanya dirinya sendiri tetapi juga orang tuanya. Negara yang menjamin kecukupan pangan dan sandang setiap warga seyogyanya tidak membiarkan anak-anak di bawah umur berkeliaran di jalan-jalan untuk mencari nafkah. Keadilan sosial merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang layak diperjuangkan dengan lebih bersungguh-sungguh.
Keadilan bukan hanya memiliki dimensi personal, tetapi juga sosial dan struktural. Semua bangsa dan negara mendambakan keadilan, tidak ada negara yang menentang diperjuangkannya keadilan. Prinsip atau sila ini memberi jaminan bahwa setiap warga bebas mendapat akses untuk membangun hidup dan kesejahteraannya. Namun dimensi atau aspek sosial dari keadilan menuntut atau mewajibkan setiap orang untuk melaksanakan haknya menurut prinsip kebaikan bersama. Ia bebas untuk mengusahakan kesejahteraan dirinya, tanpa boleh merugikan kesejahteraan orang lain atau pihak lain. Pencarian keuntungan atau kesejahteraan oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak boleh ditempuh dengan merugikan kesejahteraan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Keadilan yang dicita-citakan sebuah masyarakat membutuhkan kesadaran mendalam dan semangat yang sejati pada diri setiap warga akan keterkaitan hidupnya dengan sesama warga lain. Keadilan sosial mengandaikan solidaritas, ia hanya dapat diwujudkan dalam kepedulian satu sama lain. Disini sila ketiga ikut memberi makna dan menjadi sumbangan amat penting, yaitu bahwa keadilan sosial hendak diraih dengan semangat persatuan dan gotong royong, bukan dengan semangat mementingkan diri atau kelompok atau golongannya sendiri.
Semangat persatuan pernah mencapai kepenuhan maknanya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ketika para pejuang mengikrarkan semangat tersebut (satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa) di hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kiranya bukan mimpi belaka, namun suatu cita-cita yang terus-menerus hendak diwujudkan secara berkesinambungan dalam semangat kesatuan. Semangat keadilan sosial membantu manusia menemukan jati dirinya secara penuh dalam kesadaran akan kehadiran orang lain dan dalam dorongan untuk berbagi serta berbuat baik bagi orang lain. Idealisme keadilan sosial mendorong manusia untuk melihat sesamanya bukan sebagai musuh melainkan sebagai sebuah ajakan atau panggilan untuk memiliki sikap bertanggungjawab. Akankah Pancasila membawa bangsa Indonesia menuju kemanusiaan, persatuan dan keadilan yang didambakan oleh seluruh masyarakatnya ? Akankah Pancasila sungguh menjadi penggerak utama yang berhasil menekan atau meminimalkan secara konsisten angka kemiskinan dan kebodohan di Indonesia ?
E. Refleksi Teologis
Allah Pencipta langit dan bumi serta Pencipta manusia, adalah Allah yang baik bagi semua orang. Ia memberikan matahari kepada orang baik dan sekaligus orang jahat. Ia adalah Penyelenggara yang adil bagi umat manusia ciptaanNya. ”Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih” (GS 69). ”Oleh karena itu manusia, sementara menggunakan kepemilikannya, harus memandang hal-hal lahiriah yang dimilikinya secara sah bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya” (GS 69). Itulah perwujudan sejati semangat solidaritas guna mencapai kesejahteraan bersama.
Meskipun kuasa kegelapan telah merusak dunia dan manusia dengan berbagai buah kejahatannya (keserakahan, ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya), dengan berbagai cara pula Allah menyatakan serta menyerukan keadilanNya kepada segenap isi bumi ini. Ia memilih dan mengutus umat pilihanNya untuk meneruskan warta keadilan yang menyelamatkan manusia. Gereja bukanlah kumpulan orang yang hidup terasing memisahkan diri dari dunia. Sebagai persekutuan jemaat yang beriman kepada Kristus, Putera Allah, Gereja tinggal di tengah-tengah dunia dengan segala dinamika kemajuan dan tantangan yang terbentang di hadapannya. Mengutip Gaudium et Spes artikel 1, ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka” (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini). Sejak Rerum Novarum (tahun 1891) sampai dengan Centesimus Annus (tahun 1991) Gereja dengan tak henti-hentinya menyerukan dan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum demi penghargaan terhadap martabat luhur manusia. Para bapa Gereja, antara lain para Paus telah mengorbankan banyak waktu, perhatian dan tenaga dalam hidup mereka, untuk ikut menggerakkan dunia agar sungguh mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan-tindakan keadilan, solidaritas, subsidiriaritas. Gereja juga ikut prihatin akan sejumlah masalah sosial yang disebabkan oleh konflik antar kelas atau perkumpulan dan perselisihan akan kepemilikan. Gereja mendorong keterlibatan semua pihak dan semua unsur untuk ikut memperjuangkan terciptanya komunitas manusia yang lebih manusiawi di dunia ini. ”Kaum beriman maupun tak beriman hampir sependapat, bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya” (GS 12). Gereja mendukung pelbagai upaya yang mendorong lahirnya kesadaran akan martabat manusia yang semakin mendalam pada diri semua pihak, khususnya mereka yang memegang kendali atas kehidupan sosial ekonomi dan kesejahteraan umum manusia di bumi ini.
F. Kesimpulan
Kemiskinan dan kebodohan sebagai akibat dari kemiskinan tidak semestinya dilihat hanya sebagai masalah pribadi atau perorangan dari si miskin. Kemiskinan adalah masalah universal yang lahir bukan semata karena keterbatasan sumber-sumber daya, namun lebih karena ketidakadilan dan tidak terdistribusikannya sumber-sumber daya alam secara merata. Upaya kemiskinan membutuhkan keterlibatan semua pihak tanpa kecuali. Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya telah memuat sejumlah idealisme untuk mendorong baik Pemerintah maupun seluruh unsur masyarakat, ke arah terciptanya kemanusiaan, persatuan, solidaritas dan keadilan yang membawa orang keluar dari kemiskinannya. Sikap hormat terhadap dasar suatu negara perlu ditumbuhkan terus melalui pembinaan suara hati. Peran keluarga dan pendidikan di sekolah harus dipusatkan pada pengembangan suara hati yang sungguh menjunjung tinggi martabat pribadi manusia. Sementara itu Negara harus ada demi kesejahteraan umum. Negara harus menemukan dasar keberadaan dan makna sepenuhnya dalam upaya untuk membangun kesejahteraan warganya. ”Dengan demikian negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, ....” (GS 74 mengenai hakekat dan tujuan negara).
Gereja sebagai umat Allah merupakan juga warga dari bangsa manusia yang hendak memperjuangkan terwujudnya kehidupan yang sungguh manusiawi. Memang, di bidang masing-masing Negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling tergantung. ”Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelayanan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, semakin baik keduanya menjalin kerjasama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan semasa” (GS 76). Keterlibatan Gereja di tengah-tengah dunia untuk ikut membangun dunia yang lebih layak bagi komunitas manusia, membantu banyak pihak untuk semakin menyadari bahwa, ”manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk hidup kekal” (GS 76).
-----------------------------------------------------------------------
GS = Gaudium et Spes
Jakarta, Desember 2009