Monica Maria Meifung - Jakarta, 2010
"Yang paling sulit untuk diatasi
bukanlah kemiskinan itu sendiri tetapi dampaknya ...."
(Wawancara melalui email oleh seorang petugas sebuah buletin rohani :) - dibuang sayang..
Shalom, Mbak Meifung,
Berikut ini pertanyaan seputar karya dampingan Komunitas Putri Sion pada anak-anak jalanan. (Mbak Meifung, untuk jawaban wawancara ini, mohon juga disertakan contoh konkrit bila ada).Terima kasih.
1.
Bagaimana karya pendampingan ini dilakukan? Mohon dijelaskan.
Senin-sabtu para
pendamping terikat jam kantor, maka pendampingan dilakukan hanya setiap hari
Minggu siang, Pk.14.00-16.00 di Stasiun Juanda, dengan mengambil tempat di
salah satu teras atau pojokan kosong yang tidak terlalu banyak dilalui orang.
Kami tidak mengundang / membawa mereka ke suatu tempat lain yang mungkin
dianggap lebih layak (aula, rumah, dsb) karena ingin membuat mereka tetap
merasa nyaman di tempat mereka berada, jadi kami yang mendatangi mereka, bukan
mereka harus datang ke tempat kami. Sebagian anak drop-out sekolah,
pendampingan dilakukan dengan model menemani mereka belajar, membantu mereka
untuk lancar menulis, berhitung dan membaca : mereka diharapkan kelak
bisa hidup normal dengan 3 kemampuan minimal ini, dalam arti : tidak
mudah ditipu orang karena buta huruf dan tak bisa menghitung. Bagi mereka kami
siapkan juga pengobatan kecil seperti P3K, obat umum sehari-hari berkisar
pada keluhan : pusing, masuk angin, flu, batuk, gatel-gatel.
2.
Adakah pemetaan terhadap kemiskinan anak-anak jalanan tersebut? (dari sisi
asal, jumlah, dll. Bila ada, mohon dijelaskan.
Beberapa tahun
yang lalu mencapai 40 - 75 anak, jika ada event-event tertentu (perayaan ulang
tahun, buka puasa bersama, dsb) bisa mencapai 100 anak. Tetapi karena
penggusuran, banyak yang pindah ke tempat lain yang lebih aman atau pulang ke
kampung, jumlah mereka sekarang berkisar 25-40 anak.
Kebanyakan dari keluarga pemulung yang salah
satu markas pengumpulan barangnya ada di ujung stasiun Juanda yang ke arah Sawah Besar. Sebagian dari orang
tua mereka berjualan / buka warung kecil di sekitar stasiun. Mereka
datang dari Jakarta, dan sebagian perantau dari Bogor dan Jawa Tengah.
Misalnya : seorang
ibu berjualan teh botol, memerlukan waktu setengah tahun mengumpulkan uang
untuk bisa membayar uang buku dan seragam anak seharga Rp.175.000,- Keluhan
anak dipulangkan karena berbulan-bulan tidak membayar uang sekolah, itu sudah
amat biasa. Beberapa orang tua (dan anak juga) putus asa dan memutuskan untuk
berhenti sekolah.. Sekolah Gratis yang mereka bayangkan dianggap hanya memberi
harapan kosong karena nyatanya selalu ada sejumlah uang (seragam, iuran
tabungan, buku, dsb) yang harus mereka bayarkan ke Sekolah.
3. Berdasarkan pengalaman /
pengamatan pendampingan, persoalan apa sebenanrnya yang dihadapi anak-anak
jalanan tersebut? kemiskinan semacam apa yang dialami anak-anak jalanan
tersebut. Mohon dijelaskan.
Di balik kemiskinan, mereka menderita banyak
hal lain sebagai dampaknya, dan seringkali yang paling sulit untuk diatasi
bukanlah kemiskinan itu sendiri tetapi dampaknya. A. Pergaulan : (dari ceritera-ceritera polos mereka) mereka menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga, entah itu orang tua mereka sendiri maupun melihat tetangga / keluarga lain mengalami hal tersebut, pelecehan seksual, omongan-omongan kotor ala orang tua, dsb. Itu terbawa dalam gaya bicara mereka (karena meniru) yang kasar, liar, binal dan sungguh terdengar tidak biasa di telinga kita. Saya kadang melihat anak perempuan umur 11 tahun tapi berdandan ala perempuan dewasa dan "mejeng" di jalan dengan harapan ada yang mengajaknya berteman (maaf : seperti anak yang "melacurkan diri")
B.
Pelanggaran : beberapa anak mengalami kenalan atau anggota keluarga mereka
masuk penjara karena mencuri, terkena razia ketika sedang mengamen atau
berjualan di jalan, melarikan diri dari rumah penampungan. saya
berkali-kali harus menolong anak yang kakinya luka-luka tertusuk beling/benda
tajam akibat melarikan diri dari kejaran polisi di jalan.
C.
Kemiskinan mental : tidak sedikit anak ketika ditanya kelak kalau
sudah besar mau jadi apa, tidak mampu menjawab, kendati kami mencoba memberi
semangat dan memompa motivasinya. Artinya : mereka hidup dalam keputus-asaan
yang berat (baik keluarga sendiri maupun lingkungan sekitar) sehingga tidak
berani lagi bermimpi tentang hidup dan masa depannya. Seorang anak waktu saya
tanya nanti mau jadi apa, ia menjawab : "gak tahu, bapa-ibu saya saja cuma
pemulung, emangnya saya mau jadi apa"? Saya terkejut dan merasa tertampar
dengan jawaban ini.
Ada lagi, seorang
anak perempuan, 9 tahun, putus sekolah ketika kelas 1 SD. Kami mencoba menolong
mengurusi semua hal sampai ia bisa masuk sekolah kembali, kami janjikan akan
menjamin uang sekolah, uang buku, dsb sampai ia lulus SD. Apa yang terjadi ?
Orang tua marah-marah karena sejak kembali Sekolah mereka merasa
direpotkan dengan anak yang lebih sering meminta uang jajan ketimbang ia tidak
sekolah dan mengamen sehingga bisa cari uang jajan-nya sendiri. 3 bulan
kemudian, anak kembali ke jalanan dan tidak mau sekolah. Inilah yang saya
maksud dengan : mengeluarkan mereka dari kemiskinan mentalitas dan kemiskinan
spiritual, jauh lebih sulit daripada membawa mereka keluar dari kemiskinan
material.
Tidak ada,
mengingat kami hanya bisa mendampingi mereka seminggu sekali dan hanya 2 jam. Kami
hanya menyediakan diri menjadi teman belajar, juga tempat mereka dan
orang tuanya bisa berkeluh kesah menumpahkan uneg-uneg pergumulan hidup mereka
yang berat. Membantu orang tua dengan nasehat-nasehat umum,
(dan sedikit pendidikan budi pekerti dlm dongeng-dongeng / ceritera
kepada anak-anak balita) agar mereka bertahan di medan hidup yang keras. Tidak ideal,
memang, tetapi memaksakan diri merasul dan mengerjakan yang di luar batas
kemampuan kami, bisa membuat kami frustrasi juga kan ? ha haa haa.... :) Biarlah itu menjadi
PR Pemerintah atau Departemen Sosial, tugas kami adalah menjadi pembawa cinta
kasih dan Kabar Baik seturut kemampuan dan situasi yang dapat kami jangkau.
Saya masih bermimpi ada tenaga-tenaga baru yang lebih full-time yang Tuhan
sediakan bagi kami dan bagi mereka.
Karya ini (6 tahun
yang lalu) dilakukan secara spontan dan tidak sengaja, tidak didahului dengan
suatu perencanaan program dan penyusunan proposal yang matang dan hebat, tetapi
bagaikan sebuah realita yang "dijatuhkan" oleh Tuhan di depan hidung
kami. Tidak ada visi misi khusus sebelumnya, jadi
lebih termotivasi dan digerakkan oleh hati yang bersatu (dari semua anggota
komunitas) dan mau melayani menurut peluang-peluang yang disediakan Tuhan
dan seturut semangat Gereja "option
for the poor". Jadi, tujuan kami sangat
sederhana : mau menjadi teman bagi anak-anak miskin tanpa ambisi menyelesasikan
seluruh problema kemiskinan mereka. Jika ada sumber-sumber (dana,
barang, bahan sandang dan pangan) yang kami terima dari donatur, ya
kami salurkan, kalau tidak ada, kami tetap menemani mereka dengan menyediakan
waktu, perhatian, tenaga dan kemampuan yang ada untuk membuat mereka
bisa belajar dengan lebih baik. Maka kami melayani
tanpa terlalu banyak "stress" karena tak punya banyak
target selain mengikuti gerakan Roh Tuhan yang membimbing dan
"mengutus" untuk membawa hati dan kasih-sayangNya kepada anak-anak
jalanan itu. Maka, setiap Minggu, kami mengambil waktu 2 jam
(pk.12.00-14.00) untuk pertemuan komunitas : berdoa, merenungkan sabda
Tuhan, mendalami ajaran-ajaran Gereja, sharing iman, dsb, sebelum kami
"turun" ke jalanan, untuk membuat kami yakin bahwa sumber-sumber yang
dibagikan kepada anak-anak itu bukanlah beasal dari kehebatan dan kemapanan
diri sendiri, melainkan sungguh berasal dari Tuhan. Cita-cita kami : membawa
kepada mereka cinta kasih yang "otentik" dari Tuhan. Tidak mudah,
tetapi sejauh ini hal tersebut selalu membuat kami mau melakukannya dengan penuh
kegembiraan dan harapan.
No comments:
Post a Comment